Chapter 4

85 12 0
                                    

Seorang murid perempuan berperawakan tinggi, sorot mata tajam, serta rambut sebahu terlihat sedang memandangi mading. Rupanya yang ia perhatikan sejak tadi ialah pesan selamat jalan yang ditujukan untuk ketiga murid angkatan ke-12 yang baru saja meninggal beberapa waktu lalu. Perhatiannya kemudian beralih pada selembar koran yang terpajang tak jauh dari pesan selamat tinggal tadi. Ia tersenyum sumringah ketika mendapati foto orang yang ia kenal terpampang di sana dan menjadi tajuk utama dalam berita, saking bahagianya gadis itu bahkan sampai mencabut koran tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. Murid perempuan itu lantas pergi begitu saja tanpa merapikan susunan mading yang kini terlihat berantakan akibat ulahnya yang mencabut paksa koran tadi.   

***

Ruth berjalan dengan langkah gontai, ia terus saja memikirkan Lia yang sampai detik ini belum juga menghubunginya. Ruth penasaran dengan kepergian Lia yang tiba-tiba, gadis itu bahkan tak pernah membalas pesan yang Ruth kirim.

"Lo kenapa gak pernah ngehubungi gue sih," gumamnya pelan. Karena terlalu lelah berjalan, Ruth akhirnya memutuskan untuk beristirahat di bangku terdekat. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan mencoba memeriksa kembali apakah Lia sudah membalas pesannya atau belum, tapi setelah dicek hasilnya nihil.

"Sial! ini udah hampir sebulan dan dia bahkan gak pernah ngebalas pesan gue," umpatnya. Ruth lantas teringat dengan perkataan bu Nara.

Flashback on

"Kok bapak kelihatan gak peduli gitu sih? Padahal salah satu murid bapak hilang dan gak ada kabar sampai sekarang!" sergah Ruth.

"Dari pada mencari murid yang hilang itu bukankah lebih baik jika kamu fokus belajar untuk mempersiapkan ujian mendatang," ujar kepala sekolah sok menasehati.

"Aku gak bakal berhenti cari Lia! Apalagi ini udah lewat tiga hari semenjak dia menghilang," jelas Ruth.

"Dengar! Aku tidak punya waktu untuk mencari temanmu yang hilang lagi pula aku masih punya banyak urusan?" tolak pak Derawan.

"Oke, kalau bapak memang gak mau bertindak untuk menyelesaikan masalah ini, maka dengan sangat terpaksa aku bakal ngelaporin bapak ke komite sekolah," ancam Ruth.

"Ruth! di mana sopan santunmu? bisa-bisanya kamu ngomong seperti itu ke pak Derawan," ujar bu Nara yang baru saja masuk ke dalam ruangan, membuat Ruth seketika langsung mendengus sebal.

"Baca ini!" Bu Nara melemparkan map coklat yang ia bawa tadi, tepat di hadapan Ruth.

"Ini apa?" tanya Ruth menuntut jawaban.

"Surat pengunduran diri temanmu," jawab bu Nara.

Ruth tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh bu Nara tadi, ia kemudian membuka map tersebut dan melihat isi di dalamnya.

"Gak mungkin!" ujarnya saat membaca surat pengunduran diri yang ditulis langsung dan ditandatangani oleh Lia sendiri.

"Bagaimana? Apa surat pengunduran ini masih tidak cukup untuk mempercayai ucapanku tadi," bu Nara menautkan satu alisnya.

"Lia itu gak hilang, dia cuma keluar dari sekolah," ia menambahkan.

"Harusnya masalah ini kamu tanyakan dulu ke saya. Jangan langsung ambil kesimpulan kalau temanmu hilang," nasehat bu Nara.

Flashback off

"Aku gak ngerti sama jalan pikiran anak itu. Harusnya kan dia bisa ngasih tahu aku kalau memang dia berencana untuk keluar dari sekolah," Ruth menghela napasnya gusar.

"Tapi ada yang aneh. Seingatku saat terakhir kali ditelepon, Lia kelihatannya lagi dikejar sama seseorang gitu," ingatnya.

Karena frustasi Ruth akhirnya bangkit dari tempat duduknya, berniat untuk bolos sekolah. Namun, saat di tengah  perjalanan ia tanpa sengaja berpapasan dengan seorang murid perempuan. Keduanya sempat beradu pandang, hal ini juga yang membuat Ruth tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk bolos.

THE RED TAIL [Revisi]Where stories live. Discover now