3.6 Prohabilitas Teknis

117 28 2
                                    

Hati-hati dalam memilih hati karena hati yang tidak berhati-hati akan tersakiti oleh hati yang tak berhati.
.

.

.

Sila berspekulasi ....


Seperti biasa, kehadiran para rekannya membuat rusuh kamar tulip bernomor 203 itu. Mereka datang tak diundang hanya sekedar mencari makan. Setelah itu pulang tanpa diantar kemudian meninggalkan kotoran seperti hewan ternak. Terutama si Gusti yang makannya paling banyak bahkan dia membawa pulang beberapa camilannya. Bukannya berduka mereka berempat malah berpesta pora. Begitulah definisi teman sakit, makan-makan.

Memang beberapa hari ini banyak yang menjenguk Rinjani. Membawa buah tangan dengan beragam varian. Sampai-sampai orang yang tak dikenal pun datang menjenguknya. Entah seberapa viral berita tentangnya hingga penjuru pun kampus tahu. Namun, cewek itu tidak melihat kehadiran Fathur di sini. Entah mungkin dia sibuk dengan organisasinya.

Salah seorang OB lengkap dengan peralatan kebersihannya memasuki ruangan Rinjani. Sebelum OB itu mengeluh tentang betapa kotornya ruangan rawat inapnya, terlebih dahulu Rinjani memberi tahu sekaligus meminta maaf akibat ulah para anggotanya.

"Maaf, mas ... memang teman-teman saya gak ada akhlak. Udah berisik minta makan gratis pula kek cacing kepanasan."

"Harusnya neng bersyukur punya temen seperti itu. Soalnya yang namanya temen beneran itu susah didapat sekarang."

Rinjani terkekeh. "Emang, mas. Jaman sekarang jarang ada temen yang bener. Sejujurnya kurang satu anggota, sayang dia enggak datang ...."

Rinjani. Begitulah petugas kebersihan itu memanggil pasiennya dengan membaca nama yang tertulis di ranjangnya. "Siapa? Apa dia orang spesial ... Rinjani?"

Cewek itu berpikir sejenak. Kenangan manis yang Brian ciptakan terngiang-ngiang dalam kepalanya. Yang pertama kejadian di pantai Kretek. Dan yang kedua barusan ia alami beberapa hari terakhir. Apa iya Brian memiliki rasa lebih dari sekedar teman? Jika memang benar adanya bagaimana cara Rinjani meresponnya? Atau malah dia memberi harapan semata?

Sebab, Rinjani menganggap Brian sekedar teman dekatnya. Itu saja tidak lebih. Tapi mengapa semuanya begitu runyam di kepala Rinjani? Dia dipaksa keadaan untuk bertaruh antara mempertahankan sahabat atau hubungan. Yang mana yang harus dia pilih? Rinjani cukup bimbang dengan pilihan ini. Hati dan logikanya tidak seimbang ditambah lagi dia merupakan sahabatnya.

"Mungkin."

"Baik. Pembersihan selesai, Rinjani sudah bisa beristirahat dengan nyaman. Permisi." OB itu meminta izin sebelum benar-benar keluar.

"Terima kasih, besok-besok masnya bersihin ruangan Rinjani lagi ya?"

"Pasti."

Kini kondisinya berangsur-angsur membaik. Cairan merah yang ada di tangannya sudah dilepas lamun tubuhnya masih terbaring lemas. Rinjani masih heran, siapa orang yang rela mendonorkan darahnya? Meski Rinjani sudah bertanya, lagi-lagi para rekannya tidak memberitahunya. Pertanyaannya terabaikan begitu saja. Malah asyik menghabiskan camilan dari mereka yang menjenguk.

Nasib baik Rinjani amat sabar menghadapi para anggotanya yang tak tahu malu, suka seenaknya, dan minim akhlak. Dia menatap ke luar jendela. Siang yang cerah tiada berawan. Langit biru terbentang lebar di bawah semesta. Dan atap dari rumah-rumah warga menghiasi bumi Nusantara.

Kadang dirinya sempat berandai. Kalau saja ayah dan ibunya masih di sini, tidak mengalami pertengkaran hebat seperti kala itu mungkin mereka bangga sekaligus cemas dengan anak sulungnya. Apalagi Rinjani telah menemukan Maharani, saudara kembarnya yang pernah hilang beberapa tahun silam.

Mahasiswa Anjay [✔️SELESAI]Where stories live. Discover now