3.7 Argumentati Gratia

127 30 1
                                    

Janganlah kau tunjukkan kebaikanmu ke sembarang orang, sebab yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu tidak percaya itu.

.

.

.

Sila berspekulasi ....


Pagi ini Rinjani tengah duduk di taman bersama Maharani yang mendampinginya. Rinjani memuaskan pandangannya untuk melihat beberapa perawat dan dokter berlalu lalang. Kali ini dia tidak ditemani suster bertubuh gempal itu lagi. Padahal Rinjani sangat merindukannya, rindu saat tubuh gempalnya terguncang saat tertawa. Kondisinya lumayan membaik mungkin besok dia diberi ijin untuk pulang.

"Bagaimana kondisimu? Apa jauh lebih baik?" tanya Maharani.

Rinjani menyeringai. "Ya begitulah."

"Lain kali jangan memaksakan diri lagi," tutur Maharani seraya memberi pelukan hangat ala saudari.

"Kau lucu Maharani." Rinjani membalas pelukan Maharani.

"Jani?" panggil Brian membuat Rinjani terkesiap karena kedatangannya yang mendadak.

"B-Brian ...?" Rinjani tergagap.

"Kalian berdua mirip ya? Sampai bingung mana Jani yang asli sama mana yang bukan Jani. Untung kenalnya udah lama jadi enggak perlu repot-repot mencari ke mana." Brian tertawa kemudian menyalami Maharani.

"Lo pikir gue fotocopy-an?!" gerutu Rinjani sebal.

"Maharani," ucap Maharani sedikit membaur.

"Brian. Kamu punya kembaran, Jani? Kenapa enggak bilang sama kita?" Brian mengambil duduk tepat di samping Rinjani. Cewek itu menundukkan kepalanya secara refleks.

Rinjani menggigit bibir bawah, mengepalkan tangan, dan sesekali jemarinya mencubit punggung Brian. Sebuah pemberian isyarat kepada pria itu untuk menjaga sikapnya yang sok akrab. "Sok care banget sih! Risih gue!"

Tanpa berkata-kata Brian langsung mengambil tindakan. Ia berlutut di hadapan Rinjani, menggamit kedua tangannya yang terkepal, dan menatapnya lembut. "Kenapa Jani kamu cemburu? Aku enggak bersikap sepeduli ini sama cewek lain selain kamu. Tentang Maharani, dia saudara kamu kan? Wajar saja aku memperlakukannya demikian."

"Ngaco deh, Yan!" Rinjani menarik paksa pegangan Brian.

Brian mengusap lembut pipi Rinjani. "Bukan, Jani. Aku cuma memberi penjelasan."

Merasa jenuh serta dibiarkan seperti obat nyamuk, Maharani pun angkat bicara. "Dia temanmu, Rin?"

"Status kita memang sebatas teman tapi mengenai perasaan lain halnya lagi. Bukankah begitu, Jani?" Jawaban Brian sukses membikin suasana hati Rinjani berkecamuk.

"Briaaaannnn ...," geram Rinjani. Sungguh hari demi hari kelakuan Brian di luar dugaan. Cowok itu berubah 360° mulai dari gaya bicaranya sampai perhatiannya. Tak bisa dibayangkan bagaimana reaksi suster bertubuh gempal dan teman-temannya jika Brian seperhatian ini terhadap Rinjani.

Maharani mengangguk paham. "Jadi begitu ya."

Brian beranjak. "Oh iya Jani ada seseorang yang ingin menemuimu tapi bukan aku."

Rinjani menelengkan kepala."Siapa?"

"Sabar sebentar lagi datang."

Sosok yang disebut-sebut Brian ternyata sudah bertandang. Tubuhnya yang tinggi nan gagah, jas hitam membalut di tubuhnya, serta potongan rambutnya yang kelimis begitu sedap dipandang. Dialah ketua BEM, Fathur.

Mahasiswa Anjay [✔️SELESAI]Where stories live. Discover now