Tiga

8.4K 1.5K 516
                                    

Patih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Patih

"Gila, gila, bikin identitas baru semudah ini?"

Ocehan dari bibir Cahaya masih belum berhenti. Kedua matanya menatap ID card yang sejak tadi terus dia kagumi. Ada fotonya disana, dengan nama yang berubah menjadi dr. Hanisah dari Departemen Forensik dan Medikolegal RSCM, Jakarta.

"Ada device yang bisa mengambil dan memasukkan informasi demi kepentingan penyamaran." Mobil sedan keluaran tahun 2015 ini ditinggalkan oleh Deva kemarin siang saat mengantar tim ke markas. Katanya sih sebagai kendaraan operasional untuk Krisan Putih.

"BIN keren," pujinya, "penyamarannya bisa segampang ini."

"Enggak juga," gue menyanggah, "kalau dalam misi resmi BIN, permintaan pembuatan identitas baru harus dengan persetujuan deputi bidang, lama. Tapi karena kita ada back-up presiden, nothing impossible, lima menit jadi."

Pada teknisnya, mengajukan pembuatan kartu identitas baru tidak semudah yang dibayangkan. Tapi Krisan Putih dikecualikan, rupanya Pak Dirga sudah menyediakan sebuah software device seperti milik BIN untuk mengunduh template kartu identitas yang sangat lengkap dan automatis terdaftar pada sistem instansi, badan, lembaga, perusahaan, hingga data kependudukan namun tidak bersifat permanen karena begitu penyamaran usai, maka data harus segera dihapuskan.

"Ya, seenggaknya tetep keren aja." Cahaya tidak lagi melihat kartu identitasnya, "Bandingin sama saya, dua tahun lalu ke Maluku karena ada laporan soal munculnya gerakan separatis di sana. Waktu itu ada enam orang yang bertugas memata-matai sebelum menangkap para pemberontak dalam tiga bulan. Saya nyamar jadi peternak babi."

Tawa gue pecah, padahal ini bukan sesuatu yang harus ditertawakan. Gue hampir tidak pernah mendapat tugas ke pedalaman, seringnya di perkotaan besar dan menyusup masuk ke lembaga maupun perusahaan bergengsi yang dicurigai menjadi tempat berkumpulnya mata-mata negara luar.

"Ah, maaf." Pada akhirnya gue meminta maaf karena wajahnya yang berubah kesal, "saya pikir ... intelijen militer nggak gitu."

"Kita cuma beda tempat untuk menyamar," katanya, namun jelas sekali dia tersinggung.

"Intelijen militer harus mengubur identitasnya juga atau enggak?" Pertanyaan gue agak sedikit random. Tapi akan lebih canggung lagi kalau kita berdua diam selama kurang lebih dua puluh menit kedepan.

"Enggak sih, kecuali pada musuh," jawabnya.

"Beda ya sama agen BIN," lampu merah didepan gue berubah merah sehingga gue harus menginjak rem supaya mobil berhenti. "Orang-orang bahkan gak tau kalau kita berdedikasi besar pada negara. Jangan dulu orang banyak deh, kadang keluarga sendiri juga gak tau."

"Tapi keluarga tau kan kalau kamu anggota militer?"

"Ya, sebatas itu, mereka gak tau saya gabung dengan BIN." Kepalanya mengangguk beberapa kali, pertanda bahwa dia mengerti. "Tapi banyak dari Agen Intelijen yang hidup normal walau menyembunyikan jati dirinya. Itulah gunanya cover job yang kita punya. Kita bisa berkeluarga kalau mau, membangun pertemanan, bergaul, dan menjalani kehidupan normal namun tetap saja ada yang sifatnya rahasia."

KRISAN PUTIHWhere stories live. Discover now