Tiga Belas

7.1K 1.3K 450
                                    

Cahaya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cahaya

Kejadiannya terjadi dengan sangat cepat, gue bahkan gak tau kapan lawan yang gue hadapi mengambil pecahan vas kaca dari lantai. Namun saat gue hendak memegang kedua sisi tubuhnya untuk membantingnya, sesuatu yang tajam mengenai perut bagian kiri gue sampai kaki gue lemas seketika.

Gue ingat kapan orang-orang itu pergi terbirit dari markas, meninggalkan satu kawannya yang masih ada dalam kekangan Dimas di salah satu sudut ruangan. Gue juga ingat, kapan Patih mencabut kaca itu dari perut gue kemudian menekan luka gue keras-keras sampai rasanya nyawa gue mau lepas. Bahkan sampai tiba di rumah sakit pun, gue masih bisa mengingat semua kejadian dengan detail termasuk datangnya Lettu Deva.

Ini bukan luka tusuk gue yang pertama, tapi herannya untuk yang satu ini gue bahkan gak bisa berdiri karena tubuh bagian bawah gue mati rasa. Darahnya hilang sangat banyak sampai pandangan gue jadi kabur. Karenanya, gue dapat mendengar beberapa keributan dari tim medis yang meminta labu darah bergolongan A+ untuk ditransfusikan kepada gue. Baru setelah itu, gue kehilangan kesadaran sampai keesokan paginya mendapati Patih di kursi ruang rawat.

"Patih," gue memanggil lelaki yang sesekali termangut karena ngantuk.

"Hah? Dua bungkus aja bang." Dia ... ngigo? Mimpi beli batagor apa gimana?

"Dua bungkus apa?"

Laki-laki itu langsung duduk dengan tegap sembari menyibak rambutnya ke belakang, "Eh, maaf, maaf. Kamu udah bangun? Haus gak? Mau minum?"

Gue menggeleng, "Enggak, saya gak haus. Kamu kenapa gak di markas?"

"Soalnya kamu di sini gak ada yang jagain. Markas berantakan, anak-anak lagi beresin."

Gue melihat tangan kiri yang dijejali selang infus. Rasanya sedikit kaku dan mengganjal, aneh pokoknya, mana agak gatel dikit lagi tangan gue. Saat berusaha untuk duduk, tiba-tiba saja gue kembali telentang di tempat tidur karena rasa sakit di perut gue sekarang.

"Aduh mampus sakit banget ini mah lebih dari sakit gigi," racau gue gak jelas. "Tapi mending ini deh daripada sakit gigi, gak mau gue, ampun."

Kekehan pelan terdengar dari bibir Patih. Lelaki itu berdiri, kemudian menghampiri gue dan menambah kemiringan pada bed yang gue tempati sampai posisi gue jadi lebih nyaman.

"Sama sakit hati mending mana?" tanyanya.

"Sakit ini lah, sakit hati mah bekasnya bisa selamanya, kalo ini paling semingguan." canda gue, "Tih, bawa saya pulang aja ke markas, selain sakit di bekas tusukannya saya gak ngerasain apa-apa lagi kok. Kaki saya juga udah bisa gerak, gak kayak kemarin." Gue menggerakkan kedua kaki gue sampai selimut yang menutupinya bergoyang.

"Tergantung dokter, lukanya dalem, hampir aja kena ginjal terus ginjal kamu pecah. Kamu dikecualikan dulu dari misi sampai kamu pulih. Jadi fokus aja di sini, jangan mikirin apa-apa."

KRISAN PUTIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang