Lima

8.2K 1.5K 639
                                    

Cahaya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cahaya

Pagi itu sekitar jam sembilan, semua orang pergi ke Mabes TNI cuma buat pinjem tempat latihan dan lapangan tembak. Niatnya mau kepisah-pisah, tapi Patih nggak menyetujui karena katanya akan sulit kalau sewaktu-waktu ada panggilan darurat. Akhirnya ketujuh orang ini latihan bareng di Mabes, tentu dengan izin resmi karena gak sembarangan prajurit bisa pakai fasilitas latihan ini.

Gue dan Dimas betulan ke lapangan tembak, sementara yang lain entah mengambil latihan apa. Pengen sih nge-gym, cuma gue rasa, gue lebih butuh melatih konsentrasi daripada kekuatan otot. Dan disinilah kita berakhir, di tengah bisingnya desingan peluru yang diarahkan pada shooting target.

Napas gue tersengal saat peluru terakhir sudah ditembakkan. Setelahnya, segera menyimpan kembali senjata dan atribut yang tadi gue pakai. Entah Dimas udah selesai atau belum, namun gue lebih dulu keluar dari tempat itu kemudian berlari mengikuti jalanan luas di komplek perkantoran Markas Besar TNI.

Hampir lupa apa alasan gue gabung ke Akmil waktu itu. Yang pasti sih gue gak mau masuk Akpol sehingga mati-matian berlatih dan belajar biar lolos ke Akmil. Orang tua gue pegawai Pemda DKI, dan gue lahir sebagai anak satu-satunya di keluarga kecil ini. Cara mereka mendidik anak lumayan keras serta disiplin, selain itu mereka juga sangat merencanakan masa depan anaknya apalagi gue adalah satu-satunya.

Pilihan dari orang tua saat itu ada tiga, jadi polwan, tentara wanita, atau masuk ke STAN terus jadi pegawai negeri kayak mereka. Jelas jadi mahasiswi STAN bukan gue banget, itulah kenapa saat masuk SMA, gue memutuskan ikut pelatihan fisik untuk bisa lolos ke Akmil.

Jadi polisi? Nggak dulu deh, soalnya gue pengennya emang gabung di pasukan khusus makanya lebih pilih Akmil dan terbukti bisa jadi bagian dari pasukan elit milik Angkatan Darat.

Sempet pengen jadi anggota Sat-81/Gultor Kopassus, namun yang bisa masuk ke tim paling elit tersebut hanyalah prajurit terbaik yang dipilih langsung oleh Dansat yang menjabat. Sampai sekarang, publik hampir gak tau apa-apa soal pasukan elit ini karena kekuatan dan kemampuannya tidak dipublikasikan. Tim ini tidak pernah mengekspos kegiatan apapun karena visi misinya yang berbunyi; "tidak diketahui, tidak terdengar dan tidak terlihat".

Karena merasa lelah, akhirnya gue memutuskan untuk duduk di dekat Monumen Jenderal Soedirman. Langit cukup teduh, namun bukan pertanda mendung atau akan turun hujan. Ada dua orang petugas kebun yang sedang memotong rumput di sekitaran monumen, lalu tak lama kemudian serombongan orang yang rata-rata tidak memakai atasan sehingga otot perutnya terekspos bebas lewat sambil menyanyikan yel-yel dengan suara kencang.

"Ngapain di sini?"

Patih sejenis jin ya? Kok kalau muncul gak pernah ketauan sih?

"Kamu yang ngapain, saya sih lagi ngadem." Ucap gue dengan nada ketus.

Baru juga Patih duduk disebelah gue, satu orang lain datang dengan napas yang naik turun karena kelelahan. "Mbak, kok pergi gak bilang-bilang saya? Saya nyari sampe keliling Mabes."

KRISAN PUTIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang