[Last] Delapan Belas

8.9K 1.5K 1.2K
                                    

Cahaya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Cahaya

Gue mematung di depan sebuah cermin yang menampakkan pantulan diri gue dari ujung kaki sampai ujung kepala. Seragam dinas yang gue kenakan membungkus tubuh gue dengan sangat pas. Gue meraih baret merah dari atas meja, kemudian memakainya sehingga kini penampilan gue lengkap sudah.

Lima hari telah terlewati, persidangan pertama Harsadi pun sudah dimulai dengan tuntutan hukuman mati oleh jaksa Leonardi. Kasus penculikan Pak Dirga juga sudah tidak ditutup-tutupi lagi, meskipun yang mengetahui hal tersebut hanyalah orang terlibat seperti para aparat hukum dan rekan terdekat saja alias tidak sampai beredar ke masyarakat. Layanan Black Task Force juga dibubarkan, dengan para anggota bersalah yang ikut dijatuhi hukuman karena dianggap menjadi komplotan.

"Sudah siap, Mbak?"

Lamunan gue pecah ketika seorang laki-laki dengan baret ungu menyapa dari belakang. Tubuhnya yang lebih tinggi dari gue terlihat cukup kontras dari pantulan cermin. Gue berbalik, menatapnya sebentar kemudian mengangguk pelan, "Sudah, ayo berangkat."

Minibus yang masih terasa kosong saat diisi oleh enam orang ini melaju ke Istana Merdeka. Tak ada percakapan yang mengisi perjalanan singkat ini. Semua orang diam, seakan sibuk dengan isi kepala mereka masing-masing. Bahkan hingga kita semua tiba di depan Istana pun, orang-orang ini masih menutup mulut dan berjalan dalam keheningan.

"Pertama, saya ucapkan terima kasih banyak kepada semua anggota Krisan Putih yang sudah berjuang sampai detik ini." Suara Pak Dirga terdengar lantang dari bagian depan ruang rapat. "Dua puluh empat hari misi kalian berjalan dengan sempurna, berhasil mengumpulkan banyak informasi yang kini dijadikan barang bukti untuk mengungkap kebenaran."

"Serda Niko Fatahillah, Sertu Bintang Galuh, Serma Zain Batara, Letda Prasetyo, Letda Dimas Sinaga, Lettu Cahaya Syahda, dan Lettu Patih Adiwarna," gue menelan ludah dengan susah payah saat mendengar nama terakhir yang Pak Dirga sebutkan. "Kalian adalah tujuh ksatria dan srikandi untuk bangsa."

"Hari ini, Senin 30 September 2019, seluruh misi dihentikan dan Krisan Putih dibubarkan."

Pak Dirga berjalan menghampiri masing-masing dari kita yang berdiri hanya untuk berjabat tangan. Dia mengucapkan banyak terima kasih kepada kita semua sembari menitip beberapa pesan. Meski bangga dan lega karena akhirnya operasi dinyatakan selesai, gue tetap merasakan kehampaan dan kehilangan yang mendalam karena tidak adanya Lettu Patih Adiwarna diantara kita semua.

Pukul sebelas siang, tim yang telah bubar ini kembali ke markas yang menyimpan banyak sekali kenangan. Kurang lebih dua minggu kita mendapatkan pengalaman baru dengan bekerja sebagai pengurus kafetaria. Sejak kemarin, peralatan sudah kembali ditarik oleh Pak Dirga sehingga tidak ada lagi sederet komputer serta gudang senjata di lantai dua. Semuanya kembali ke interior lama, persis tempat tinggal bagi pegawai kafe pada umumnya.

"Mbak, makasih buat pelajarannya selama ini." Zain merangkul gue, membuat gue balas merangkulnya sembari tersenyum tipis.

"Sama-sama, terus bikin senyum buat banyak orang ya, Zain." Pesan gue.

KRISAN PUTIHWhere stories live. Discover now