Epilog

100K 8.8K 1.9K
                                    

Apa yang bisa manusia perbuat, ketika mengetahui ia tengah berhadapan dengan kematian? That near death experience.

Khawatir pastinya. Takut. Atau mungkin justru tenang?

Namun bagi kami para tenaga medis, ada kekhawatiran yang dirasakan berkali-kali lipat. Karena kami tahu apa yang akan terjadi pada tubuh kami saat menghadapi kematian itu. Ketika kami terbiasa melihat pasien berjuang mempertahankan nyawanya, napas demi napas, di otak kami juga kadang berputar sistem organ mana saja yang tengah mengalami kegagalan secara berurutan.

Oke.

Rasanya aku berlebihan, sih ... kenapa pula membahas kematian tiba-tiba?

Tapi masalahnya, sejak aku memasuki ruang operasi ini, hanya hal-hal buruk yang terlintas di otakku. Karena kali ini aku bukan menjadi asisten operator seperti biasanya, melainkan menjadi pasien yang terbaring di bed operasi.

Benar-benar, kali ini aku merasa tidak berdaya.

Ketika induksi selesai dilakukan dan para perawat berlalu-lalang di sekitarku lalu memasang alat pengukur tekanan darah dan oksimeter di lengan kanan –sementara lengan kiriku terpasang infus- panikku bertambah-tambah. Benar saja, ketika monitor menyala, tekanan darahku menunjukkan angka yang lebih tinggi dari biasanya, begitu juga dengan heart rate-ku yang di atas angka normal.

"Wah, ini gimana nih? Tensinya sampai segitu nggak ada indikasi pre-eklamsi ini? Udah dicek belum protein urin-nya? Ini istri saya nggak dipasang oksigen? Kenapa itu heart rate-nya sampai segitu? Presyok bukan?"

Pergerakan orang-orang di ruang operasi sempat terhenti mendengar suara suamiku. Iya, suamiku, si dokter Reno itu.

Ia berdiri tidak jauh dari tempatku berbaring, dengan privilege-nya dapat menemaniku di ruang operasi. Dia yang biasanya tenang dan memahami bagaimana tubuh bekerja, kali ini terdengar panik menanyakan ini-itu dengan intonasi tinggi.

Dokter Bella, dokter sekaligus operator yang akan mengoperasiku hari ini, baru saja masuk dari ruang sterilisasi mengangkat kedua tangannya yang basah setelah cuci tangan. Ia terlihat tersenyum lebar di balik maskernya lalu mengarahkan tangannya ke salah satu perawat. Meminta perawat itu untuk berhenti mencari-cari selang oksigen dengan tergesa-gesa untuk dipasangkan di hidungku.

"Ren, napas Ren ... lo kalo panik gitu, istri lo panik juga entar."

"Ya tapi liat deh tensinya sampe seratus tiga puluhan gitu, nggak pa-pa memangnya?"

"Aman, Ren ... percaya aja, deh." Dokter Bella masih terlihat tersenyum sambil dibantu oleh perawat sirkuler memasang gaun operasi.

"Nadia sesak napas, nggak, rasanya?" kali ini dokter Jose, dokter anestesiku yang posisinya berada di atas kepalaku bertanya.

"Nggak, Dok."

"Ini kita pasang oksigen buat jaga-jaga, ya." Aku mengangguk, "terus biar suami lo nggak ribut aja." Tambah dokter Jose pelan sambil terkikik.

"Suka gitu emang dia, Dok. Sabar ya ..." ledekku balik.

Aku saat ini berada di ruang operasi di rumah sakit milik kedua orang tuaku. Walaupun Mama telah resmi bercerai dengan Papa –tetapi Mama masih berstatus sebagai pemegang saham meskipun telah mengundurkan diri dari jajaran direksi- tetap saja, bagi dokter-dokter dan perawat yang ada di ruangan ini, I'm still their boss's daughter.

"Heh, gue denger." Ucap Reno berjalan mendekatiku.

Reno memang berteman dengan kedua dokter di ruangan ini, aku tau beliau-beliau semua saling mengenal baik. Tetapi buatku, dokter Bella dan dokter Jose adalah kedua senior yang tetap harus kuhormati.

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang