twenty six : dona nobis pacem

111K 15.1K 2K
                                    

give us peace

________________

Air mata diciptakan sesungguhnya untuk menjaga kelembaban bola mata kita, melindungi mata dari berbagai pathogen, atau sebagai reaksi ketika benda asing masuk ke mata -seperti debu dan bahkan uap yang dihasilkan bawang misalnya-. Tapi air mata juga merupakan sebuah ekspresi emosi baik karena kesedihan atau bahagia.

Tingginya hormon kortisol yang ditimbulkan ketika bersedih, diteruskan otak ke saraf pengendali mata sehingga otak memerintahkan kelenjar penghasil air mata untuk mengucurkan mineralnya lebih banyak dari normal. Tak terbendung.

Bahkan pengetahuanku tentang fisiologi air mata pun tidak banyak membantuku mengetahui bagaimana cara mengendalikannya hari-hari ini.

Delapan tahun.

They've been lying to my face for eight years straight.

Wow.

Aku benar-benar tidak tahu harus menunjukkan reaksi apa terhadap orang-orang di rumah yang selama ini kusebut keluarga. Ingin rasanya berteriak di hadapan mereka semua, mengumpat, melempar dan merusak semua perabotan di rumah, dan menunjukkan rasa kecewaku terhadap kebohongan yang lama mereka sembunyikan.

Aku juga ingin mempertanyakan keabsahan hasil test IQ-ku selama ini, tiba-tiba merasa bodoh sendiri sampai tidak bisa mencium sedikit pun bangkai yang dibungkus rapat, atau IQ mereka yang memang jauh di atasku? Atau mungkin juga, sebenarnya selama ini aku sudah curiga, tetapi salahku yang tidak perlu merasa peduli dengan kejanggalan-kejanggalan yang ada di rumah. Aku terlalu fokus membuktikan diri sendiri hingga melupakan bukti lain yang seharusnya dipertanyakan.

Tidak ingin bertanya atau pun mencari tahu sedikit pun kenapa atau bagaimana dan siapa orangnya, karena apa pun jawabannya, hasilnya tetap sama : kecewa.

Keluarga yang seharusnya menjadi supporter pertama dan utama, justru menjadi penyebab hilangnya kepercayaanku pada orang lain. Membuatku menilik ulang fakta-fakta dan momen krusial yang terjadi selama delapan tahun terakhir. Seperti kenapa Papa hampir setiap weekend tidak ada di rumah -damn, ... pasti waktu pembagian dengan istri keduanya di saat weekend itu-, Papa bahkan juga hampir tidak hadir di wisuda sarjana kedokteranku, aku tau sebabnya sekarang : karena dilaksanakan hari Sabtu, weekend ...

Tiba-tiba melintas di ingatanku ketika aku menjadi asisten Profesor Adnan di stase bedah dulu, ketika beliau bertanya santai padaku.

"Papa-mu masih jarang di rumah kalau weekend, Nadia?"

"Masih, Prof. Paling dalam sebulan, cuma sekali aja ada di rumah pas weekend." Jawabku jujur saat itu.

"Nggak papa ya Mbak Nadia, gitu-gitu tetep panutan keluarga." Tiba-tiba salah satu asisten operator yang merupakan perawat senior di rumah sakit ikut menyambung obrolan kami. Aku hanya mengangguk sopan dan tersenyum padanya di balik maskerku.

"Keluarga yang mana, nih?" Profesor Adnan menimpali lagi, setengah tertawa.

"Ya semua keluarga lah, Prof ... kan Profesor Dharma itu profesor teladan. Ya Mbak Nadia?" dan beliau berdua beserta beberapa orang di ruang OK tertawa mendengarnya.

Damn ...

Saat itu sungguh tidak ada pikiran aneh apa pun mendengar kelakar Profesor Adnan dengan perawat senior itu, yang kuanggap hanya saling berbagi inside jokes dan basa-basi untuk mencairkan ketegangan selama operasi. Tapi setelah kuingat lagi semua itu, ... how could I didn't realize that they'd been laughing at me? That they knew all along.

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Where stories live. Discover now