one : ad oculos

303K 20.6K 1.5K
                                    

to the eyes

_________________

Berjumpa denganmu itu, seperti mendengar alunan lagu untuk pertama kalinya.

Dan seketika aku tau lagu itu akan menjadi lagu favoritku, untuk kuputar berulang-ulang, lagi ... dan lagi.    

_________________

Aku masih tidak paham dengan orang-orang yang bilang mereka 'alergi' rumah sakit. Maksudku, memang kenapa sih? Kata mereka, bau rumah sakit membuat perut mual. Bau yang seperti apa sih maksudnya? Bau alkohol bercampur dengan karbol dan obat-obatan itu ya? Atau bau anyir darah dan berbagai cairan tubuh manusia itu? Ck ck ck ... Andai mereka tau bau jenazah satu minggu yang perlu di autopsi itu seperti apa, 'bau rumah sakit' itu akan seperti wangi parfum Jo Malone.

Mereka bilang juga, trauma datang kemari karena rumah sakit adalah tempat hal-hal menyedihkan terjadi. Seperti ketika orang-orang yang mereka kasihi meninggal dunia, atau ketika sanak saudara mereka divonis penyakit berat. But do you know? Rumah sakit adalah tempat kedua –setelah tempat ibadah- dimana doa-doa paling sering dipanjatkan hingga menembus dinding serta atapnya untuk didengar sampai ke langit. Tempat bayi-bayi lahir membawa kebahagiaan, tempat mukjizat terjadi ketika mereka yang telah tertidur lama dapat terbangun kembali membawa secercah harapan.

Kan Rihana sendiri yang bilang di lagunya : 'we found love in a hopeless place'. Walaupun arti harafiahnya kurang lebih : kita (akan) menemukan cinta di tempat yang tanpa harapan (sekalipun), atau maksudnya, tempat yang parah banget. Tapi sepertinya maksud dari kalimat itu juga memiliki makna bahwa di tempat terburuk sekalipun, jika kita melihat segala sesuatu dari sisi baiknya, di situ, kita juga akan menemukan bahwa bahagia itu sederhana. Caranya? Cukup dengan bersyukur.

Seperti aku sekarang ini contohnya, walaupun waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari, aku masih belum sama sekali diberi kesempatan untuk memejamkan mata. Justru kupaksakan  mataku terbuka lebar, berkutat dengan pasien-pasien yang telah, sedang dan baru saja dioperasi.  Aku tetap menegakkan kepala dan ... –meskipun berulang kali menghela napas pasrah- tak lupa bersyukur. Syukur karena di luar sana banyak yang ingin berada di posisiku dan tidak semua bisa merasakan yang aku rasakan saat ini, bersyukur karena semakin banyak aku berinteraksi dengan pasien maka semakin banyak pula pengalaman dan ilmu yang aku dapat.

Di tempat yang penuh dengan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi ini, kita tidak pernah tau apa yang akan hadir ke dalam hidup kita. Sehingga hal terakhir yang bisa kita lakukan adalah ... menikmatinya, sambil bersyukur. 

Or at least ... itu yang aku ucapkan di benakku berulang kali untuk menyemangati diri.

Dengan kekuatan mata yang tinggal setengah watt ini, aku menulis data pasien di salah satu bilik pasien di IGD yang baru saja dikonsulkan ke departemen kami, anestesi, karena pasien ini membutuhkan tindakan kraniotomi segera. Sementara di hadapanku, Ergi, salah satu teman jagaku, memeriksa tanda-tanda vital si pasien.

"Gila, udah gemeteran nih tangan gue Gi, saking capeknya." Ucapku ketika keluarga pasien baru saja dipanggil untuk menandatangani informed consent dan meninggalkan si pasien dengan kami berdua.

"Sama. Ini kenapa sih tiap kali gue jaga malam sama lo pasti begini, operasinya nggak berhenti-berhenti? Lo pembawa ya?!"

"Ah nggak, kalo gue nggak jaga sama lo biasa aja padahal, aman-aman aja nggak ada operasi malah."

"Tuh kan, emang kayaknya kita mesti dipisah deh ini jaganya. Kita tuh kalo dikombinasiin jadi pembawa pasien!" aku memutar bola mataku, skeptis dengan teori yang baru diutarakan Ergi. 

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Where stories live. Discover now