eleven : nec spe nec metu

130K 16.3K 1K
                                    

without hope, without fear

_____________________________


"Mama kamu? Kayak gitu?" aku mengangguk menjawab pertanyaan Dayu.

"Wow ... bahkan pesona dokter Reno sampai ngefek ke emak-emak. Atau ada kemungkinan lain kenapa Ibunda ratu bisa begitu?" lanjutnya.

Kami saling tatap,

"Kalian punya pikiran yang sama nggak kalo ada di posisi gue?" tanyaku pada kedua koas senior anak tempat curhat favoritku sekarang, Dayu dan Dipta. Kami bertiga sedang berkutat di laboratorium kecil milik Departemen Anak di rumah sakit, tempat mereka sedang latihan menganalisa darah untuk persiapan ujian beberapa hari lagi. Dipta akhirnya ikut menjadi pendengar setiaku juga karena lama-lama ia curiga kekasihnya terlalu sering hilang kuculik untuk bicara berdua.

"Kalo lo mikir tentang penerus rumah sakit orang tua lo, ya sepemikiran berarti sama gue." Ucap Dipta, mengangkat kepalanya sesaat dari mikroskop.

"Iya sih, Mama Papa kamu pasti pinginnya ada yang ngewarisin rumah sakit mereka suatu saat nanti, karena udah hopeless sama kakak kamu. Makanya begitu ngeliat ada dokter yang keliatan minat sama anaknya, lanjuuuutt ..." lanjut Dayu.

Aku menjentikkan jariku,

"Tepat sekali! Kalo aja kalian liat gimana bedanya perlakuan nyokap gue ke Kak Ian sama dokter Reno, beda banget!"

"Bedanya dimana?" tanya Dayu yang mulai membuat apusan darah di atas object glass.

Dua hal yang membuatku nyaman untuk curhat kepada dua manusia ini selain tentu saja mereka the best secret keeper, adalah kemampuan mereka dalam multitasking. Mereka berdua bisa tetap fokus belajar atau melakukan persiapan ujian lain sambil mendengar dan merespon setiap keluh kesahku. Jadi tidak ada raut wajah terpaksa yang seolah berkata 'ayo cepetan ngomongnya, nggak liat ini gue lagi buka buku?'

"Kalo sama Kak Ian itu, nyokap gue cenderung ngalir aja. Welcome, tapi nggak seagresif kayak sama dokter Reno kemarin. Sampe malu gue ..." Dipta dan Dayu terkekeh,

"Yaudah sih, ambil yang gampang aja kalo gitu. Lo sama si Ian ini, udah lo ngejar nggak dapet-dapet, nyokap lo juga nggak begitu kasih lampu hijau kan? Ibarat lo usaha dua kali, capek doang."

"Iya Nad, kamu mungkin lebih suka tantangan ya, tapi realistis aja sih ... mulai sekarang lupain aja deh Kak Ian itu. Udah ngilang lagi kan dia?"

Dengan bibir mengerucut, kuanggukkan kepala. Mengiyakan pertanyaan Dayu tentang entah kemana lagi Kak Ian sekarang, sehingga sudah hampir satu bulan kami lost contact untuk kesekian kalinya.

"Nggak semudah itu tau ngelupain cinta pertama." Kataku. Dayu mendengus,

"Halah Nad, alasan kamu klise amat. Kamu bilang gitu karena Kiano bukan dokter aja, makanya berbagai alasan kamu buat jadi pembenaran. Lagian ... jaman sekarang itu nggak penting cinta pertama. Lebih penting cinta sejati tau? Cinta pertama kamu belum tentu cinta sejati kamu kan?" tanya Dayu, sambil diam-diam melirik Dipta.

"Setuju! First love is nothing when he or she is not your true love. Duh, ini gue sebenernya rada jijik ya, ngomong cinta-cintaan sementara di hadapan gue lagi neliti pup-nya orang."

"Loh, Yang? Kirain kamu neliti darah juga?" Dayu segera menghampiri Dipta setelah selesai membuat satu sediaan apusan darah yang akan diteliti di bawah mikroskop.

"Coba liat yang ini aja deh kalo gitu, biar sesuai temanya. Cinta Nadia yang berdarah-darah ... Eh?" Dayu mengangkat kepalanya, seperti tiba-tiba mendapatkan inspirasi, "coba kita teliti juga darah kamu sini? Siapa tau ada perbedaan antara darah orang normal sama orang yang terlalu banyak di-PHP? Nanti aku terbitin di jurnal internasional kalo perbedaannya signifikan." Dayu dan Dipta lalu tertawa terbahak-bahak sambil ber-high five.

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Where stories live. Discover now