twenty : libra

122K 15.2K 1.2K
                                    

balance

_____________


'Lagi dimana?'

Aku akhirnya bisa membaca pesan Whatsapp yang masuk ke handphone, setelah satu sesi pembahasan soal selesai. Sementara itu kami menunggu Caesar dan Anindya yang sedang memfoto kopi lembar soal CBT untuk dibagikan pada kami sebagai bahan belajar pertemuan berikutnya.

Gemas ingin kujawab dengan gombalan tereceh abad ini 'di hatimuuuu~', tapi mengurungkan niat itu. Mungkin karena mood-ku sedikit berantakan hari ini, atau karena kepalaku sudah terlalu panas akibat ratusan soal tadi, maka kujawab singkat.

'Perpus'

'Yang sebelah IBS?'

'Iya'

Yang tidak kusangka adalah tidak sampai dua menit setelah itu, saat aku sedang mengobrol seru dengan Dayu dan Meirina –yang tiba-tiba datang ke perpus hanya untuk 'ngumpul' bersama kami-, dokter bedah saraf termuda di rumah sakit itu muncul dari balik pintu perpustakaan. Ia masih mengenakan baju scrub berwarna biru navy-nya itu, yang entah kenapa ujung lengannya ia lipat lagi sehingga menampakkan otot bisep yang padat hasil fitnes rutin. 

Kedua teman perempuan di sampingku ini bahkan sampai berhenti mengobrol dan tidak bisa menyembunyikan pekik kegirangan mereka. Reno menyapa Krisna dan Irfan di ujung meja yang lain dan bertanya apa yang mereka lakukan di sini.

"Persiapan buat D-Day, Dok." Irfan mengedikkan kepalanya ke arah Dayu.

"D-day? Ujian kompetensi maksudnya?" mereka berdua mengangguk.

"Ih dokter ... ngapain ke siniii? Nyariin saya, ya?" tanya Meirina percaya diri. Reno hanya tersenyum simpul lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh perpustakaan setelah terpaku sesaat menatapku.

"Lah bukannya lu belum lulus, Mei? Dicariin dokter Joseph tuh, ujian lagi sama beliau." jawabnya santai meledek Meirina dengan menyebut konsulen bedah yang terkenal galak.

Aku masih terdiam dan memperhatikan gerak-geriknya dari tempatku duduk. Menahan diri untuk tidak berpura-pura muntah saat Meirina membalas ledekan Reno itu. Lalu mengikuti gerak tubuhnya ketika ia berjalan ke arah kumpulan jurnal dan literatur yang ada di samping meja kami. Teringat pembicaraan kami kemarin sebelum ia membawa pulang putrinya dari daycare.

"Boleh minta satu hal nggak?" Mas Reno menaikkan alisnya, "jangan ada yang tau."

"Kenapa?"

"Pokoknya jangan."

"Nggak bisa, aku harus tau dulu alasannya."

"Temen deket aku ketua fans-club Mas di rumah sakit, nggak kebayang kalau dia tau gimana reaksinya."

"Serius itu alasannya?"

Aku mengangguk.

"Nggak siap dihujat netizen karena macarin pujaan cewek-cewek satu rumah sakit."

Kali ini ia tertawa mendengar alasanku yang satu itu.

"Oke. Mau sampai kapan?"

"Sampai ... aku lulus ya?"

"Hmmm ... jadi aku tau sekarang motivasi kamu lulus, selain buat banggain orang tua juga supaya bisa announce that we're officially dating, ya?"

Dan sejujurnya aku sedikit menyesali permintaanku kemarin, karena melihat Meirina mengawasi Reno seperti hyena kelaparan seperti ini membuatku tidak nyaman. Maka aku pun membuka suaraku.

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Where stories live. Discover now