twenty two : beatae memoriae

134K 14.1K 1.1K
                                    

of blessed memory

___________________

"Nadia, lagi sibuk apa sekarang?"

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Kak Ian di seberang sana. Kumiringkan kepala untuk menahan handphone di antara telinga dan bahuku, semantara kedua tanganku berjibaku dengan textbook, kumpulan soal, serta suture pad lengkap dengan minor set untuk keperluan skill lab hari ini.

"Lagi persiapan UKM... mmm, ujian akhir, Kak. Belajar mulu deh intinya."

"Oh pantesan ... jarang kontak. Kapan sih emangnya ujian?"

"Dua minggu lagi." Menjawab ini, dadaku berdesir mengingat salah satu hari penentuku hanya tinggal hitungan minggu. Tapi aku tiba-tiba juga teringat hal lain.

Susah payah kulirik jam tanganku, melihat tanggal hari ini dan menghitung mundur tanggal Kak Ian operasi. Sudah sebulan lebih, luar biasa ...

Rasanya ingin menepuk bahuku bangga, sudah memecahkan rekor sebulan lebih tanpa meghubungi Kak Ian. Tidak lagi merasa perlu tahu Kak Ian sedang apa, di mana dan bersama siapa. Dan sulit aku percaya bahwa hari ini akhirnya tiba, yaitu hari ketika telepon dari seorang Kiano tidak lagi berefek apa pun terhadap Nadia. Congrats, Nad! I'm so proud of you, you've successfully moved on.

"Sebentar lagi, dong? Jaga kesehatan, ya!"

"Iya, Kak ... eh, kenapa nih telpon? Kakak sakit kepala lagi atau Ilyas bikin ulah?"

"Oh, nggak ... I'm good. Ilyas juga, behave kok dia. Cuma mood-nya lagi jelek ya belakangan ini."

"Iya. Biasa Kak, habis berantem sama Papa lagi kemaren-kemaren."

"Oh ..."

"You didn't answer my question, by the way." Aku telah sampai di depan ruang skill lab namun memilih untuk duduk di lantai, meletakkan semua barang yang aku bawa.

"My call log missed certain numbers. Biasanya ada di urutan atas, sekarang nggak ada."

Aku menyunggingkan senyum, meski tidak bisa ia lihat. Nyariin gue juga lo?

"Yang di urutan atas pasti Annabelle."

"Eh? Kok tau? Kok tau Anna?"

"Taulah. Apa sih yang gue nggak tau?" aku mendengar tawa renyah Kak Ian di seberang sana.

"Pasti dari Ilyas, ya?" aku hanya bergumam pelan meng-iya-kan. Menahan pengakuan bahwa aku bahkan pernah melihat langsung si Anna ini, karena aku tidak merasa perlu menjelaskan di mana aku melihatnya dan kejadian spesifik setelahnya.

Kak Ian terdiam sesaat kemudian berdeham.

"Okay, then ... take care, Nadia. Good luck for your final exam."

"Yeah ... thank you, Kak ..."

Kemudian aku menghela napas panjang dan segera berdiri dari dudukku. Tidak mengijinkan kejadian barusan mempengaruhi mood-ku hari ini, apalagi sampai prolong dua minggu ke depan. Aku harus memastikan dua minggu ini hanya diisi oleh hal-hal yang membahagiakan saja, agar imbang dengan stress pra-ujian yang menyerangku. Thanks to my special someone yang selalu memastikan mood-ku kembali stabil, terutama karena hari ini ia bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi mentor skill lab kelompok belajar kami.

Namun aku tidak mempersiapkan telingaku ketika masuk ke ruang skill lab dan disambut oleh keributan dari teman-teman kelompok belajarku ini, terutama para gen XY. Seharusnya setelah hampir sebulan menghabiskan waktu belajar bersama kedelapan temanku ini, aku mulai terbiasa dengan watak, tingkah dan kebiasaan aneh mereka. Tapi melihat mereka tengah mengerubungi sebuah meja sambil berdebat entah apa, kembali membuatku geleng-geleng kepala.

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Where stories live. Discover now