two : audi, vide, tace

191K 19.2K 1.3K
                                    

hear, see, be silent

________________________


"Ya kamu bayangin aja Nad, anestesi itu semacam dokter yang bisa mengendalikan nyawa pasien. Dia bisa buat pasien itu nggak sadar kayak orang mati, tapi bisa juga bawa pasien itu kembali hidup. Keren kan?"

"Iya dok, keren banget." Jawabku dengan senyum palsu yang dipaksakan se-real mungkin, padahal dalam hatiku berkata 'ya kalo bisa balik sadar, kalo nggak? kan malpraktek lu'.

Aku sedang berada di pojok ruang OK mengerjakan tugasku sebagai koas anestesi saat operasi berlangsung : mencatat perkembangan tanda vital pasien dan sekaligus mengobrol dengan dokter Hisyam, residen anestesiku yang banyak omong dan cenderung sombong ini. Karena menyenangkan hati orang lain meskipun dengan ekspresi wajah penuh kepalsuan adalah salah satu keahlian yang harus kami kuasai untuk bertahan di dunia putih ini. Bagi kami, residen yang moodnya bagus akan dengan senang hati mengajari kami yang haus ilmu ini banyak hal.

Jadi, catat ya, satu keahlian lagi yang wajib dimiliki koas : pinter ngolor.

"Tapi bukannya malah beresiko tinggi ya dok kerjanya?"

"Oh iya jelas beresiko dong, makanya asuransi jiwa kita paling besar, karena gugatan malpraktek ke kita angkanya termasuk paling tinggi. Tapi kan saya orangnya suka tantangan ya Nad, makanya justru makin ngerasa 'wah' gitu ..." aku terus mengangguk mendengar penjelasannya yang lama-lama membuatku bosan sendiri dan akhirnya suara baritonnya itu membaur tidak jelas di belakang. Kini fokusku justru beralih pada pertunjukan inti di ruang OK ini, memperhatikan si operator bedah saraf baru yang sedari tadi tidak banyak bicara dan hanya fokus dengan alat burr hole di tangannya.

Dipilih sebagai as op untuk menemaninya cranio di dini hari menjelang subuh ini adalah teman koasku yang terkenal sebagai salah satu koas paling patologis di satu angkatan, si cantik Meirina. Aku berhitung dalam hati ketika Meirina setidaknya sudah lima kali membuat kesalahan kecil yang akhirnya membuat mood dokter Reno terjun bebas dan menyebabkan ia tidak banyak bicara lagi. Padahal sebelum operasi tadi, saat di ruang ganti, Meirina tampak bersemangat menemani dokter Reno yang ia puja-puja kegantengannya.

"Yang namanya as-op itu kerjanya bantuin operator neng, lah kamu udah senior di bedah masa cara make baju steril aja nggak tau, cara megang spooling nggak tau, cara aktifkan cauter nggak tau, terus mau ngapain di sini? Kan jadinya malah ganggu jalannya operasi. Kamu selama ini ngapain aja coba? Jangan-jangan malah belum pernah ikut operasi ya?" tanya Pak Khaidir, perawat instrumen yang berada di sebelah dokter Reno. Pak Khaidir ini sebenarnya terkenal sebagai perawat paling ramah dengan koas, ini bahkan pertama kalinya aku melihat ia mengomel seperti ini. Dengan suasana ruang operasi yang sunyi ini, suara Pak Khaidir semakin terdengar nyaring memenuhi ruangan.

"Iya, ini pertama kalinya saya ikut operasi Pak." Jawab Meirina jujur sambil mencoba memberikan tatapan memelasnya yang biasanya berhasil meluluhkan hati konsulen yang memarahinya. Bego, nggak usah dijawab kali Mei ...

Dokter Reno mengangkat kepalanya sebentar, menatap Meirina tidak percaya, menggeleng-gelengkan kepalanya dan melanjutkan pekerjaannya lagi, membiarkan Pak Khaidir terus memarahi Meirina. Sementara yang dimarahi justru terlihat santai dan cengengesan merasa tidak bersalah.

"Wah ... masih untung dia dibolehin berdiri di situ, kalo saya operatornya kayaknya udah nggak saya bolehin deket-deket pasien deh." Ucap dokter Hisyam lirih padaku. Aku menoleh ke arahnya dan tersadar dari tadi ia ternyata ikut terdiam dan menonton kejadian di hadapan kami.

"Gatel saya dok mau ngrekam, terus saya viral-kan videonya. Secara Meirina ini kan selebgram dok, mana tau followernya yang ratusan ribu itu, dia gesrek begini kelakuannya."

Primum, Non Nocere (First, Do No Harm)Where stories live. Discover now