61. Red Rain

1.8K 309 246
                                    

Hujan turun dengan derasnya saat Angkasa baru keluar dari ruang administrasi sekolah setelah mengurus beberapa hal. Lelaki itu membuka ponselnya dan melihat pesan masuk dari om Farhan yang memintanya untuk ke rumah sakit. Angkasa membalas singkat dan mengatakan akan segera ke sana.

Lelaki itu dengan langkah-langkah panjang menuju parkiran dan segera mengendarai mobilnya keluar area sekolah.

Saat menoleh ke halte di sebrang sekolahnya, Angkasa melihat sosok seorang gadis yang akhir-akhir ini tidak bisa lepas dari pikirannya. Gadis itu duduk sendirian di sana, mengulurkan tangannya untuk menerima tetesan air hujan.

Debaran di dada Angkasa mendadak mengila saat melihat sosok yang sudah lama tidak ia lihat. Angkasa lantas mengemudikan mobilnya dan behenti tepat di depan halte. Dengan terburu-buru ia turun dari mobilnya dan berdiri diam di hadapan Rainne.

Sosok gadis ini benar nyata. Angkasa lega karena bisa melihatnya sekarang. Sudah lama sekali, setelah hari itu Rainne tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak. Ia tidak bisa menemukannya di mana-mana. Setiap kali ia ke rumahnya, gadis itu tidak ada di sana. Saat ia bertanya pada Fanya, gadis itu mengatakan jika ia tidak tahu kepergian Rainne ke mana, juga sosok tante Ayumi jarang sekali ia lihat akhir-akhir ini. Ia berasumsi jika Rainne dan Ibunya pergi ke suatu tempat.

Angkasa tidak akan berbohong, jika ia benar-benar merindukan gadis ini.

"Rainne," panggil Angkasa. Masih berdiri di tempatnya dan memandangi gadis itu dengan ekspresi khawatir dan campur aduk.

Menyadari keberadaanya, gadis itu menoleh lalu menyungingkan senyum tipis padanya.

"Hai, Angkasa."

"Kemana aja?"

Gadis itu tidak menjawab, hanya tersenyum pada Angkasa. Sepertinya enggan memberitahukan kemana perginya ia selama ini hingga membuat Angkasa nyaris gila karena tidak bisa menemukannya di mana-mana.

"Kemarin-kemarin gue nyari lo, enggak pernah ketemu. Di rumah juga enggak ada."

"Kenapa nyariin?"

"Masih mau minta maaf, masih ada banyak hal yang mau gue omongin."

"Gue udah maafin kok," kata Rainne sambil senyum. Gadis itu berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Angkasa.

"Gue mau mulai hidup baru, dan enggak mau inget-inget masalah gue sama lo kemarin. Gue udah lupain semuanya, lo juga harus lupain semuanya, Angkasa."

Tidak bisa, Angkasa tidak akan pernah bisa melupakan dengan sangat mudah hal jahat yang sudah ia lakukan pada gadis ini. Angkasa sudah menghancurkannya. Bahkan sepertinya kalimat maaf saja tidak cukup dan tidak ada gunanya sama sekali. Untuk melupakan tentu saja sangat sulit.

"Rainne, apa gue emang layak dimaafin semudah ini?" tanya Angkasa.

Pasalanya, ia sendiri pun merasa dimaafkan begitu saja oleh Rainne sangat tidak adil untuk gadis itu mengingat apa yang sudah ia lakukan. Sialnya, gadis di hadapannya ini malah mengangguk sambil tersenyum. Membuat Angkasa semakin merasa buruk.

Angkasa bodoh karena sudah melukai orang dengan hati sebaik ini.

"Angkasa," panggil Rainne. Gadis itu semakin mendekati Angkasa dan berdiri tepat di depannya.

"Maaf," ujar Angkasa lagi.

Rainne terdiam sesaat lalu kemudian tertawa kecil.

"Kenapa minta maaf terus sih? Gue udah maafin kok, kita baikan ya? Lupain aja yang kemarin."

Tenggorokan Angkasa tercekat, ia ingin mengatakan sesuatu tapi sulit sekali. Ekspresi wajah Rainne yang terlihat bahagia itu justru sedikit menganggu perasaanya.

Dear AnonymousWhere stories live. Discover now