Epilog

2.6K 340 304
                                    

Pagi ini hujan turun, Riga berdiri diam memandang keluar jendela apartemennya. Ia baru sampai di Indonesia kemarin sore. Sudah lama sekali, setelah ia berhasil sembuh dan melanjutkan pendidikannya di luar negeri.

Ini sudah lewat tiga tahun, dan rasanya ia merindukan tempat ini, teman-temannya, dan juga seseorang.

Lelaki bertubuh jangkung itu menyudahi kegiatannya memandangi hujan. Ia melihat sekilas jam dan pesan masuk di ponselnya. Segera ia meninggalkan apartemennya dan mengendarai mobilnya untuk pergi ke suatu tempat.

Mobil yang dikendarai Riga membelah jalanan Ibu Kota yang basah diguyur hujan. Setelah beberapa saat terus melaju, mobil itu berhenti di sebuah halte sebrang SMA-nya dulu. Ia segera turun dari mobilnya dan menghampiri sosok lelaki yang tengah duduk sendirian di halte sambil bengong memandangi hujan.

Sosok ini tidak banyak berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Ekspresinya tetap dingin, seperti khas seorang Razza Angkasa.

Riga diam bersandar pada tiang penyangga kanopi. Sahabatnya itu belum menyadari keberadaan Riga dan sibuk sendiri dengan pikirannya. Tanpa repot-repot menebak, Riga tahu pasti yang sedang dipikirkan oleh Angkasa adalah Rainne.

Hari ini, tanggal 14 Juni 2023. Di setiap tangal yang sama dan tahun yang berbeda-beda, Angkasa selalu seperti ini. Duduk diam berjam-jam di halte ini sendirian.

Meskipun tidak pernah pulang ke Indonesia, tapi teman-temannya sering melaporkan tentang Angkasa padanya. Riga tahu alasannya, dan semua orang pun tahu alasannya. Meskipun sudah tiga tahun berlalu, Angkasa tetap tidak bisa menerima kenyataan mengenai Rainne.

Riga melirik tangan Angkasa yang menggenggam sebuah boneka kecil yang tidak asing. Boneka yang biasanya dipajang di sisi piala pertama milik sahabatnya. Sudut bibir Riga tertarik hingga membentuk sebuah senyum miris.

Lelaki itu mengalihkan pandangan dan kini menerawang jauh ke depan, memandangi bangunan sekolahnya yang terhalang tirai hujan.

"Dia di sana lagi ngapain, ya?" gumam Riga setelah sekian lama diam.

Mendengar gumaman itu, Angkasa barulah bereaksi dan menyadari kehadiran Riga.

"Udah tiga tahun lewat, Ka. Mau sampe kapan lo begini terus?" tanya Riga.

"Enggak ada yang salah dari apa yang gue lakuin," balas Angkasa.

"Salah."

Angkasa memilih untuk tidak menyahuti lagi. Yang sahabatnya itu lakukan hanya menatap rintik-rintik air hujan yang berjatuhan. Mungkin sedang memikirkan gadis bernama hujan itu lagi. Sebab Riga pun terpikirkan, jika gadis itu ada di sini, pasti ia sedang asyik bengong memandangi hujan, atau mengulurkan tangannya untuk menerima tetesan air hujan, atau bahkan bermain hujan-hujanan. Gadis itu sangat menyukai hujan.

Figur samar gadis itu kini terproyeksi dalam benaknya. Tersenyum bahagia sambil bermain di bawah hujan.

"Gue enggak tahu dia bakal seneng apa sedih liat lo kayak gini," ujar Riga lagi. "Tapi mungkin kalau keadaannya berbeda dari sekarang, dia bakal ceritain tentang lo terus-terusan ke gue. Tentang seberapa bahagianya dia saat tahu kalau lo cinta mati sama dia, kebayang dia bakal seneng banget."

"Gue mau liat dia bahagia, Ga. Belum sempet," gumam Angkasa.

Riga mengerti, kepergian gadis itu memang memberikan dampak paling besar untuk Angkasa. Sebab Riga kini tahu, sebesar apa perasaan Angkasa untuk gadis yang dulunya ia sukai itu.

Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu pun, perasaan Angkasa untuk gadis bernama hujan itu tidak kunjung berubah. Riga sedikit menyesali itu, mengapa semuanya terlambat? Jika dulu Angkasa seperti ini, mungkin Rainne akan sangat bahagia.

Dear AnonymousWhere stories live. Discover now