02. Tentang sang Langit

2.7K 376 67
                                    

Angkasa sangat menyukai basket, tapi ia tidak menyukai sorak-sorai penonton. Kata teman-temannya, Angkasa itu aneh. Normalnya, laki-laki pasti menyukai sorak-sorai dan menjadi pusat perhatian dari kaum hawa, tapi Angkasa malah tidak menyukai hal itu.

Ketika kebanyakan murid laki-laki mengincar posisi di tim inti basket Epsilon53, Angkasa yang ditawari kesempatan langsung oleh pembinanya malah menolak.

Ia lebih suka bermain basket sendirian, tanpa diganggu oleh lawan, dan tanpa sorak sorai penonton yang membuat kepalanya pening. Belum lagi teriakan dari gadis-gadis yang menyebut-nyebut namanya. Berisik.

Intinya, Angkasa itu menyukai suasa tenang dan tidak suka diganggu. Apalagi diganggu oleh seorang gadis. Ribet.

Tentu saja, kehadiran seorang gadis yang tiba-tiba menghentikan langkahnya dengan memblokade jalan termasuk juga ke dalam daftar hal yang tidak disukainya.

"Minggir," titah Angkasa dingin.

Bukannya menurut, gadis yang tingginya hanya mencapai pipi Angkasa itu malah tersenyum semakin lebar tidak tahu malu. Kemudian, ia mengangkat tangannya dan melambai pada Angkasa padahal jarak mereka tidak lebih dari lima puluh senti saja.

"Hai, Angkasa. Ini first time loh aku mau nyapa cowok duluan," ujar Rainne dengan penuh percaya diri.

Angkasa sama sekali tidak menanggapi, ia hanya mentap dengan sorot mata dingin pada gadis itu untuk beberapa detik saja. Ia lalu mengalihkan pandangan, mengabaikan gadis itu dan kembali melangkah berniat pergi, sebab ia malas buang-buang waktu untuk meladeni gadis itu. Siapa lagi, ia adalah gadis yang sama dengan sosok yang berteriak di tribune tadi dan diam-diam menontonnya bermain basket.

Gadis dengan lesung pipit itu mengikuti arah langkahnya. Membuat Angkasa menarik napas kesal karena jalannya kembali dihalangi. Angkasa mengambil langkah ke kiri, gadis itu mengikuti, ia kembali lagi ke kanan dan yang dilakukan gadis itu sama seperti sebelumnya.

Sungguh, ini menyebalkan. Jika bukan karena sosok di hadapannya ini adalah seorang gadis, sudah dipastikan Angkasa akan menarik kerah seragamnya untuk ia hajar.

"Buru-buru amat sih."

"Jangan ganggu gue!"

"Idih galak banget," ujarnya sok kaget.

"Minggir."

Rainne malah nyengir lebar dan semakin mendekat untuk mempermainkan Angkasa. Tangan gadis itu terentang lebar-lebar, mungkin maksudnya untuk memblokir semua akses yang bisa membuat Angkasa pergi. Hal itu jelas sekali membuat Angkasa jengkel setengah mati pada gadis ini.

"Enggak mau."

"Jangan rese bisa?" kata Angkasa tajam membuat gadis bername tag Rainne Naomi ini mengkeret takut untuk sesaat.

Bisa dibilang, nyali gadis ini lumayan juga. Orang lain mungkin akan berpikir ribuan kali untuk mengusik Angkasa. Namun, seharusnya tidak mengherankan. Sebab Angkasa juga tahu jenis orang seperti apa Rainne Naomi ini.

Troublemaker yang memang senang cari gara-gara dengan siapa saja. Hanya saja, Angkasa heran mengapa tiba-tiba gadis yang sering menjadi perbincangan murid laki-laki di kelasnya ini mendadak jadi mengusiknya.

"Bentar doang, cuma mau mastiin. Kamu suka sama aku, ya?"

Heran, Angkasa tidak tahu darimana dasar pertanyaan aneh itu. Sungguh, rasa percaya diri seorang Rainne Naomi ini sangat tinggi sekali, kemungkinan sudah sampai di level tidak waras.

"Enggak."

"Masa sih? Kalau gitu ganti pertanyaan, kenapa waktu itu kamu nolong aku? Karena kamu peduli 'kan sama aku? Menurut aku nih ya, kepedulian itu didasari dari perasaan suka, sayang, atau cinta. Kayaknya kamu selama ini diem-diem merhatiin aku. Terus jatuh cinta deh. Kamu ngaku aja enggak apa-apa kok," oceh Rainne percaya diri.

"Lo ngayal?"

Menarik napas frustrasi, kini gadis itu memasang tampang tidak percaya sambil menatap pada Angkasa yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Kamu enggak bener-bener lupa, 'kan? Gila aja, belum juga ada sebulan sejak kejadian di—"

Rainne membatalkan kalimatnya, mendadak ia mual karena ingatan yang paling dibencinya itu terulang kembali. Dia menggelengkan kepala dan berusah mengusir ingatan tidak menyenangkan itu. Angkasa mengangkat satu alisnya heran saat memerhatikan tingkah aneh Rainne.

"Lo siapa?"

"Rainne Naomi. Masa enggak tahu? Yaampun. Kurang famous apa aku di Epsilon? Ya emang enggak sefamous kamu sih. Aduh. Aku yang waktu itu loh! Di jembatan! Kamu yang nolongin aku! Nganterin aku sampe naik taksi! Ih kesel masa kamu enggak inget."

Helaan napas jengkel dikeluarkan oleh gadis itu. Tampangnya menampilkan ekspresi tidak habis pikir sambil menatap Angkasa.

"Enggak kenal."

Kini Angkasa bisa melihat raut wajah gadis yang sering disapa Naomi itu mendadak kesal dibuatnya. Angkasa sendiri semakin gerah dan ingin segera pergi dari hadapan gadis ini.

"Wah gila, padahal di Epsilon kayaknya enggak ada yang enggak kenal sama aku. Enggak habis pikir ternyata selama ini kamu enggak tahu eksistensi aku di bumi," oceh gadis itu tidak terima. Gadis itu bersidekap dengan tampang jengkel sambil menatapnya lurus-lurus. "Sakit hati banget sumpah."

"Gue nggak kenal lo, gue enggak tahu lo siapa. Jadi, enggak usah sok akrab."

Angkasa merasa waktunya sudah terbuang sia-sia karena gadis ini. Setelah mengucapkan kalimat itu dengan sangat dingin, satu tangan ia gunakan untuk menyingkirkan Rainne dari hadapannya dan langsung pergi meninggalkan Rainne di pinggir lapangangan basket.

Untuk mempertahankan ketenangan dalam hidupnya, sebisa mungkin ia tidak mau berurusan dengan gadis bermasalah dan pembuat onar sejenis Rainne Naomi.

🌨

Dengan tampang jengkel, Rainne menutup pintu kamarnya dalam satu kali bantingan. Ia melempar tas sekolahnya dengan asal dan langsung melompat ke tempat tidurnya dengan posisi telungkup bahkan tanpa repot-repot membuka sepatu terlebih dahulu.

Untuk beberapa detik, gadis itu diam dalam posisi seperti itu. Detik berikutnya, gadis itu menjerit gemas karena teringat lagi dengan interaksinya dengan seorang Razza Angkasa tadi di lapangan basket.

Gadis itu berguling, mengubah posisinya menjadi telentang. Matanya kosong menatap pada langit-langit kamarnya yang dicat bergambar awan.

"Gila, gue patah hati banget ternyata selama ini dia enggak pernah tahu kalau gue idup!" pekik Rainne sambil meremas guling dengan gemas.

Masih dengan tampang cemberut, Rainne merogoh ponsel di rok seragamnya dan langsung membuka aplikasi Instagram. Ia mengetikan nama Razza Angkasa pada kolom pencarian.

Akun milik Angkasa di-private, dan Rainne sudah beberapa kali mengirim request menggunkan second acount miliknya tapi tidak pernah dikonfirmasi. Tidak heran, Angkasa pasti sangat selective dan tidak akan mengkonfirmasi akun dengan uname zonahujan miliknya. Hanya saja, ia tidak memiliki keberanian untuk mem-follow Angkasa dengan akun utamanya. Takut akan bernasib sama.

Sekarang, Rinne jadi badmood. Ia lalu mengetik nama Dhirendra di kolom pencaharian dan melihat posting-an cowok itu yang tengah bersama Angkasa. Selama ini, hanya lewat teman-temannyalah Rainne bisa melihat foto ganteng dari seorang Razza Angkasa.

"Enggak ngerti, bisa-bisanya dia enggak tahu gue siapa. Padahal selama ini gue udah usaha buat sekedar dikenal sama dia, atau minimal dia tahu gue, lah. Gue 'kan famous banget di Epsilon. Muka gue juga sering masuk akun epsilonhitz, wah bener-bener ni orang. MASA IYA LO JUGA ENGGAK INGET SOAL KEJADIAN DI JEMBATAN ITU?!" teriak Rainne pada foto Dhirendra, Riga, dan Angkasa dengan emosi. "Ih ngeselin banget!"

Rainne cemberut, foto Angkasa itu hanya menatapnya dengan ekspresi dingin. Kini ia merasa seperti sedang ditatap langsung oleh Angkasa. Ekspresi Angkasa yang seperti itu membuat Rainne memejamkan mata sambil memegangi kepalanya yang mendadak pusing.

"Haduh, tapi ganteng banget bikin pusing."

🌨

Dear AnonymousWhere stories live. Discover now