14. Peace Agreement

329 67 294
                                    

"Kau ingin bercerai, kan? Aku akan mengabulkannya. Asalkan dalam dua hari ke depan kita berdamai. Tidak ada kemunafikan dan tidak ada Jimin. Bersikap seperti dulu lagi, bisa?"

Leira menoleh dengan mengangkat satu alisnya. "Jadi, dalam dua hari kita menghabiskan waktu bersama?" Jung mengangguk. "Baiklah, mari kita coba," sambungnya.

Rupanya Jung telah berubah pikiran, atau mungkin ia sedang merencanakan hal lain? Whatever Jung's plans, Leira belum peduli. Pikirnya, terima dulu perdamaian yang diajukan Jung. Nikmati dulu kebersamaan mereka, dan bersenang-senang dulu sebelum memantapkan bercerai dengan suaminya.

Hitung-hitung merengkuh Jung sekali lagi sebelum berpindah rengkuhan kepada Jimin. That's good idea—mungkin begitu.

Jung menyerahkan paper bag abu tua ke Leira. Ia mengernyit kebingungan. Detik itu juga ia mengambil isi di dalamnya. "Decero? Ada racunnya?"

Jung mengangguk. "Minumlah—tidak, tidak, aku hanya bercanda. Simpan atau buang sesukamu. Aku benar-benar ingin berdamai sebelum kita bercerai."

Daripada hal yang tidak diinginkan terjadi lagi, alhasil Leira membuang Decero di wastafel sampai terkuras habis, lalu mencucinya sampai bersih. Langkah terakhir, ia membuang botol kaca itu ke tempat sampah.

Jung yang melihat tingkah Leira hanya bisa menggeleng. Saat mata hitam itu bersirobok dengan mata Leira, Jung mengeluarkan bunny smile-nya sekaligus merentangkan kedua tangan. Tanpa pikir panjang, Leira berlari kecil—mendekap tubuh kekar Jung. Hangat. Erat. Dan tulus.

Mengelus pelan surai sang lawan sekaligus menghadiahkan dua kecupan singkat pada kening mulus Leira. Wanita itu menengadah, mengulas senyum cantiknya hingga membuat Jung terkesima. Kalau dihitung, mereka enggan mengurai pelukan selama sebelas menit.

"Mau jalan-jalan? Belanja juga boleh," katanya lembut.

"Naik bus, ya?"

Jung menautkan kedua alisnya. "Kenapa tidak naik mobil saja?"

"Ayolah, sekali saja turuti permintaanku," rengek Leira yang masih dalam dekapan Jung.

Jung menunduk, memencet hidung mancung Leira dengan sengaja. "Aku tidak pernah tidak menurutimu, Sayang." Leira meringis, "Aww, sakit—lepaskan tanganmu itu, Jung."

Jung menggeleng. "Tidak akan, sebelum kau memanggilku dengan panggilan unik yang kau berikan itu. Koo, boleh?"

"Ya, Koo."

Lepas mengurai, ia mendorong tubuh Leira untuk naik ke atas. "Ah, lupa." Sebelum mencapai anak tangga yang pertama, ia membalikkan tubuh Leira menghadapnya. "Afternoon kiss-nya belum." Pun, mengecup bibir tipis itu tanpa menunggu sang pemilik memberikan jawaban. Sudah dibilang, Jung itu jail—pertama mengecup, ujung-ujungnya melumat. Sekadar menikmati bibir mungil ini yang sudah lama tak ia cicipi.

"Sudah kok, thanks darling."

Tawa Leira semburat. Sejak kapan Jung bisa seromantis ini? Seumur hidup mengenal pria ini, Leira tidak pernah dipanggil darling atau apa pun kata manis yang berbentuk Bahasa Inggris. Hari yang sangat bersejarah, dan Leira tidak akan melupakannya.

Jung berbaring di sofa sambil memperhatikan Leira yang sedari tadi tidak selesai memilih dress sampai mengacak-acak isi lemari. Tidak berantakan kok, hanya saja ada beberapa pakaian tergeletak di meja.

"Bagus yang mana? Ini cocok, tidak?"

"Cocok, kau cantik."

Leira mendengkus kesal. "Dari tadi kau hanya mengatakan tiga kata itu; 'cocok, kau cantik'. Tidak bisakah membantuku memilih dress yang bagus?"

He's DangerousWhere stories live. Discover now