d u a

216K 21.3K 2.5K
                                    

Di ruangan luas dengan nuansa putih kombinasi hitam, Divney duduk di tepi ranjang dengan jari jemari lentiknya yang terus saja memainkan rok mini yang tengah ia kenakan, jantungnya berdegup kencang dengan rasa panik yang semakin menggebu.

Sedangkan sang empu apartemen tengah berada di kamar mandi dengan suara air yang terus bergemercak. Sepertinya ia sedang melakukukan aktivitas mandi.

Tak lama kemudian seseorang keluar dari dalam kamar mandi, yang seketika langsung membuat Divney menjerit histeris karena lelaki itu tak mengenakan kain sehelaipun.

"Woi! Pake handuk, dong!" jerit Divney, masih dengan menutup mata rapat-rapat.

Memasang wajah datar dengan tatapan aneh ke arah Divney, bukannya memakai handuknya seperti apa yang baru saja diucapkan oleh Divney, lelaki itu malah berjalan semakin mendekat ke arah Divney.

Melirik dari ekor mata, lalu langsung memejamkan mata kembali. "Pake handuk gue bilang!"

Kini lelaki itu sudah berdiri tepat di belakang Divney yang tengah memunggunginya.

"Emang kaya gini, ya, cara lo memperlakukan pelanggan?" tanyanya.

Divney berdecak. "Pake dulu handuk lo, emang lo gak malu apa? Bugil kaya gitu," gerutunya.

"Enggak, lagian lo juga bakal gue bugilin."

"Heh!"

"Baru pertama kali, ya? Atau jangan-jangan lo emang pelacur amatiran? Ah, gak jadi nafsu gue kalo gini caranya."

Deg

Jantung Divney berdegup kencang, ucapan lelaki itu sudah berhasil membuatnya kesal dan merasa tertantang. Tangan Divney mengepal kuat, ia menarik nafas panjang, sebelum pada akhirnya bangkit dari duduknya dan berdiri tegap menghadap ke arah lelaki di hadapannya.

Perlahan Divney membuka mata, membalas tatapan lelaki di hadapannya dengan begitu tajam.

"Lo bilang apa? Amatiran?" tanya Divney.

"Iya, lo amatiran ... gue salah?" jawabnya balik bertanya, sembari meraih handuk di pundaknya dan melilitkan handuk itu ke pinggang.

Divney berdecak. "Sorry, tapi gue gak biasa main tanpa pemanasan dulu, jadi agak gimana gitu pas gue tiba-tiba ngeliat lo langsung telanjang," alibinya.

"Oh, harus pemanasan dulu?"

Mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Lelaki itu melangkah maju semakin mendekati Divney, menelan saliva dengan keringat yang terus menetes dari kening dan pelipisnya, dengan gerakan reflek gadis itu melangkah mundur.

Divney terus melangkah mundur seiring dengan lelaki di hadapannya yang semakin melangkah maju.

Dugh

Hingga tiba-tiba langkah Divney terhenti ketika punggung gadis itu menabrak sebuah lemari di belakangnya, lelaki itu tersenyum miring.

"Takut?" tanyanya memberi jeda, "Apa kata gue, lo itu amatiran."

Tak menjawab, tangan Divney terus merogoh ke dalam tas, mencari sesuatu yang sejak dari rumah tadi sudah ia siapkan.

"Gue jadi curiga kalo ini emang pertama kali buat lo," kekeh lelaki itu, semakin gencar menggoda Divney yang sudah gemetaran dengan wajah pucat.

Sekejap kemudian Divney membalas ucapan lelaki di hadapannya dengan senyum smirk, membuat lelaki itu merasa sedikit aneh, memicingkan mata dengan raut heran.

Tanpa di duga-duga dengan gerakan kilat Divney menarik tengkuk lelaki di hadapannya sampai lelaki itu sedikit menyondongkan wajah, dan dengan tanpa di duga pula Divney mencium bibir lelaki itu begitu saja.

Untuk beberapa saat suasana seakan langsung menjadi hening, lelaki itu mematung dalam posisi berciuman, sedangkan Divney tengah menyiapkan ancang-ancang, untuk ....

Jleb

"Nghh!" erang lelaki itu, saat sebuah jarum suntik berhasil mendarat mulus dan terbenam di lehernya.

Spontan Divney langsung mendorong tubuh lelaki di hadapannya sampai terhempas ke atas ranjang, lambat laun tubuh lelaki itu menjadi lemas, matanya semakin sayu menatap nanar ke arah Divney yang tertawa kegirangan.

Pelan-pelan gadis itu melangkah naik ke atas ranjang, mencabut alat suntik yang masih menempel di leher jenjang lelaki yang sudah terkapar lemas tak berdaya di atas ranjang itu.

"A-apa itu?" paraunya.

Tersenyum lebar sampai matanya menyipit. "Bukan racun, kok, cuma bius ... ngomong-ngomong makasih, ya, duitnya, aku pergi dulu, dadah!" pungkas Divney, tak lupa mencium kening lelaki di bawahnya, lalu meraih kartu di atas nakas.

Saat hendak turun dari ranjang, tiba-tiba lelaki itu menahan tangan Divney, membuat gadis itu menoleh panik.

"Lepas!" Divney berusaha menghempas tangan besar itu dari pergelangannya, namun tenaga lelaki itu tampak jauh lebih kuat darinya.

Menarik sudut bibir, dengan segala ide yang ada di otaknya, Divney langsung menggigit tangan lelaki itu sampai ia mengerang dan pada akhirnya melepaskan tangan Divney.

Buru-buru Divney langsung berlari kecil menuju ke arah pintu keluar, nafasnya terengah, ia mulai menggesekan kartu milik lelaki itu ke sebuah alat pendeteksi yang terletak di samping pintu.

Namun tiba-tiba tengkuknya semakin dibuat panas dingin ketika sebuah alat pendeteksi itu meminta beberapa digit angka untuk diketik, yang tak lain adalah sebuah kata sandi untuk membuka pintu.

"Sial!" umpat Divney.

Gadis itu berlari, kembali masuk ke dalam kamar, berniat untuk meminta nomor kata sandi agar pintu bisa terbuka, namun tampaknya lelaki itu sudah terpengaruh oleh cairan obat bius, ia sudah memejamkan mata tak sadarkan diri.

"Brengsek! Bisa kacau kalo pas dia bangun masih liat gue ada di sini," panik Divney.

To Be Continued....

Bad AssociationWhere stories live. Discover now