t i g a p u l u h d e l a p a n

76.7K 9.9K 791
                                    

Langit jingga menandakan bahwa hari sudah menjelang sore, sekolah sudah tampak sepi. Dengan langkah perlahan Divney mulai menaiki tangga menuju rooftop gedung sekolah.

Gadis itu rasa, dirinya memang tidak bisa bersama dengan Devian lagi. Setelah mengenal cukup jauh, Divney jadi ngeri saat mengetahui jika ternyata sang pacar adalah sosok yang posesif dan berlebihan dalam segala hal.

Dari kejauhan Divney bisa melihat, seorang lelaki yang seragamnya sudah acak-acakan akibat berkelahi sekaligus mendapat hukuman siang tadi, tampak berdiri memegangi tepi pembatas rooftop, menatap lurus ke gedung-gedung pencakar langit dan hiruk pikuk suasana sore di sekitar.

Beberapa helai poni Devian tampak berterbangan tertiup angin, lalu beberapa saat kemudian, setelah menyadari kehadiran Divney, lelaki itu menoleh dengan senyum simpul.

"Jangan pernah deket sama laki-laki lain lagi," ujar Devian, berjalan mendekat, memeluk tubuh Divney cukup erat.

Mendorong kasar tubuh Devian agar menjauh darinya, kini mata gadis itu sudah kembali berkaca.

"Kenapa lo pukulin Tristan? Lo tau? Gara-gara lo dia dirawat di rumah sakit!" sentak Divney.

Mengamati gadis di hadapannya beberapa saat, Devian menghela napas lirih. "Bisa aja besok gue kirim dia ke ruang ICU atau kuburan bahkan."

"Psycho gila! Kenapa lo lakuin itu?!"

"Karena gue gak mau kehilangan lo!" sahut Devian spontan, membuat Divney terdiam cukup lama.

"Gak gini caranya! Apa lo bakal ngelakuin hal yang sama ke cowok-cowok lain yang mau temenan sama gue?!"

"Kenapa enggak? Punya gue akan selamanya jadi punya gue. Siapapun yang coba rebut, harus mampus di tangan gue."

Menautkan alis, mata Divney membulat lebar. "Maksud lo? Gue gak boleh temenan sama cowok lain selain lo, gitu?"

"Karena dunia lo cuman gue! Gue doang, dan harus gue! Jangan pernah berpaling dari gue!"

"Gak bisa!" sentak Divney.

Devian memasang raut datar, menaikan satu alisnya. "Kenapa gak bisa?"

"Gue juga manusia normal yang masih pengen bergaul sama semua orang, gue pengen nikmatin masa muda gue buat seneng-seneng bareng banyak orang tanpa mandang gender! Dunia gue bukan lo doang, Dev!"

Berdecak kasar, Devian meraih kedua lengan gadis di hadapannya, mencengkram lengan Divney dengan sangat erat.

"Aw! Sakit, Dev, lepas!" jerit Divney.

"Pokonya dunia lo cuman gue! Lo harus lupain keinginan lo itu, dan kita harus bareng terus untuk selamanya. Cuman kita berdua!"

"Lo gak bisa ngatur-ngatur hidup gue kaya gitu!"

"Kenapa?" sahut Devian. "Kenapa gak bisa? Gue pacar lo!"

"Tapi di dunia ini gue gak cuma butuh pacar! Gue butuh temen dan sahabat juga. Andai kalo lo ada di posisi gue, apa lo juga bakal mau kalo gue yang notabene baru dateng di kehidupan lo langsung maksa lo buat jadiin gue sebagai dunia lo?! Enggak, 'kan?!"

"Mau!" jawab Devian spontan.

Divney meneguk saliva, matanya membulat lebar. "Mau apa?"

"Kalo gue jadi lo, gue mau ngelakuin apapun demi orang yang gue sayang, dan kalo lo mau, gue juga bisa ... putus hubungan sama semua orang demi lo."

Berdecak kesal, Divney mengacak rambut frustasi. "Ya itu karena lo emang gak punya kehidupan sosial! Lo sosiopat! Mana ada yang mau temenan sama orang aneh dan egois kaya lo!"

Hening!

Devian tak menjawab lagi, ucapan spontan dari Divney yang terdengar menyakiti hati Devian, membuat lelaki itu mematung untuk beberapa saat.

Meski merasa sangat tidak enak hati, dengan apa yang baru saja ia lontarkan kepada Devian, sebisa mungkin gadis itu tidak menunjukan reaksi apapun.

Meneguk saliva, Divney menghela napas beberapa kali. Meski merasa bersalah, ia harus tetap kekuh pada tujuan pertamanya—memutuskan hubungan.

Tapi ... setetes air mata yang terjatuh dari mata Devian, seketika membuat hati Divney terenyuh, gadis itu benar-benar merasa bersalah, dia merasa jika ucapannya sudah keterlaluan terhadap Devian. Meneguk saliva, entah kenapa hati gadis itu langsung terasa sesak saat mendapati Devian menjatuhkan air mata.

"Maaf!" Tak tahan, Divney langsung memeluk Devian, mengusap kepala bagian belakang lelaki itu.

"Gua udah capek, gue gak tahan lagi, Dev, gue capek ...." Kini malah Divney yang menangis.

Percayalah, rasanya sangat berat bagi gadis itu untuk mengakhiri hubungannya dengan Devian. Apa lagi ketika dia sadar jika dirinya benar-benar sudah jatuh cinta kepada Devian.

"Gue nyerah," lirih gadis itu dengan suara parau.

Seketika Devian melepas pelukan Divney, dengan ekspresi datar, Devian menyorot dalam mata Divney.

"Maksud lo?" tanya lelaki itu, jantungnya berdetak cepat, ia merasa cemas.

"Gue mau, kita putus!"

Plak!

"Ah!" teriak Divney begitu kaget, tubuhnya terjatuh ke lantai saat tanpa di duga, tiba-tiba Devian menampar pipinya.

Lelaki itu merasa kalut, apa yang ia takuti benar-benar terjadi, dan di waktu bersamaan potongan adegan dari masa lalu itu datang lagi. Seperti biasa, saat gambaran dari masa lalu memenuhi ingatannya, lelaki itu menjadi berbeda, Devian akan bersikap seperti bukan dirinya sendiri.

Mata Divney berkaca, bibirnya sedikit menganga, gadis itu menatap cengo ke arah lelaki yang kini sudah berjongkok di hadapannya, guna menyamakan posisi mereka.

"Ulangi!" suruh lelaki itu, ekspresinya datar membuat Divney sedikit ngeri.

Berdecak kasar, gigi gadis itu menggerat, setelah apa yang ia terima dari Devian, Divney menjadi semakin yakin dengan keputusannya.

"Kita putus!"

Plak!

Lagi, dengan enteng Devian melayangkan pukulan kasar ke pipi Divney lagi, wajah gadis itu menunduk, beberapa helai rambut yang terurai dan terkena angin menutupi wajah. Rasa nyeri di pipinya membangun amarah, gadis itu mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Anjing lo!" teriak Divney, berdiri cepat menyahut kayu balok di sampingnya, gadis itu hendak memukul Devian.

Di waktu bersamaan, seakan sudah tau gerak-gerik Divney, lelaki itu langsung berdiri, menepis kasar tangan Divney sampai kayu di genggamannya terlepas, lantas Devian mendorong tubuh Divney sampai membentur dinding di dekat mereka.

Devian mencengkram kuat lengan Divney, sampai gadis itu meringis menahan sakit.

"Jangan pernah berfikir buat ngeakhirin hubungan kita! Karena gue gak akan pernah biarin semua itu terjadi!" tegas Devian.

"Ah! Lo udah nyakitin gue, anjing!" umpat Divney.

Melepaskan lengan Divney. "Gue yang anter lo pulang," ujar Devian, berbalik badan, lalu pergi dari rooftop begitu saja.

Menghela napas kasar, setelah Devian menghilang dari pandangannya, Divney menjerit kesal, jongkok memegangi lututnya yang terasa lemas.

Kini gadis itu benar-benar merasa sudah terikat pada hubungannya dengan Devian, lelaki itu telah berhasil membuatnya merasa terkekang dan tidak nyaman.

"Gue nyesel ketemu sama lo, Devian!" teriak Divney benar-benar kalut.

To Be Continued....

Bad AssociationWhere stories live. Discover now