t i g a p u l u h d u a

89.7K 11.5K 518
                                    

Mulai hari ini, Divney dan Devian duduk sebangku di dalam kelas. Tentu saja hal itu mampu menimbulkan banyak orang bertanya-tanya keheranan. Kenapa si antisosial itu mau memiliki teman sebangku?

"Jadi, mereka beneran pacaran?"

"Serius?!"

"Gue gak terima!"

"Gue juga gak rela kalo Devian beneran udah ada yang punya, huwaa!"

"Oh my prince!"

"Beruntung banget si Divney!"

Suara komentar dari para warga sekolah terus saja saling sahut menyahut, namun tak di gubris oleh dua remaja yang tengah dalam masa kasmaran itu.

Tampak dari meja paling ujung, tepat di mana beberapa geng remaja berkumpul, di saat semua anak meributkan kejadian langka di kelas mereka, Bella dan Tristan malah sebaliknya, dua insan itu mematung dengan mata yang menyorot tajam ke arah Divney dan Devian yang kini tengah gencar jadi bahan perbincangan.

"Harusnya Devian itu cuma boleh sama gue!" geram Bella, tangannya mengepal kuat.

"Liat aja, suatu saat nanti gue bakal bales perbuatan Devian ... dia pikir gue banci? Yang langsung takut sama satu ancaman?" Tristan terkekeh kecil, matanya masih menatap lurus ke arah Devian. "Lo salah!"

Mendengar penuturan lelaki di sampingnya, Bella langsung menoleh dengan mata memicing.

"Jangan pernah sentuh Devian, atau lo bakal berurusan sama gue!" sahut Bella.

Membalas tatapan Bella, Tristan menaikan satu alisnya. "Kenapa? Lo gak mau gue ngapa-ngapain cowok yang udah nyia-nyiain lo? Yang bahkan gak pernah merhatiin keberadaan lo?"

"Tutup mulut lo!"

"Gak mau denger fakta?"

Triiingg

Di tengah perdebatan sengit antara Bella dan Tristan, tiba-tiba bel masuk berbunyi, seketika semua anak bergegas untuk kembali ke mejanya masing-masing.

Jam pelajaran selanjutnya akan segera dimulai, sekejap Divney melirik ke arah bangku kosong pada salah satu meja, tempat di mana Cakra biasa duduk.

Selang beberapa saat, Devian menyentuh bahu Divney, membuat gadis itu menoleh cepat merasa sedikit kaget, lantas Devian langsung membalas tatapan Divney dengan senyum simpul, lelaki itu menyodorkan sebuah buku miliknya ke arah gadis yang masih memasang ekspresi bingung di sampingnya.

"Gue tau lo pasti belum ngerjain, buruan salin sebelum pak Hendar dateng," suruh Devian.

"Emang ini buku apaan?" Divney masih bingung, menatap buku dan wajah Devian secara bergantian.

"PR matematika."

Seketika Divney menepuk kening. "Mampus, gue beneran gak tau kalo ada PR!"

"Karena kemarin lo lagi di hukum bareng Bella."

Buru-buru Divney mencatat semua jawaban yang ada di buku sang pacar, untuk beberapa saat di tengah aktivitas menulisnya, Divney menghela napas lega, seketika pula gadis itu merasa beruntung memiliki Devian—karena pacarnya itu memang benar-benar bisa diandalkan.

***

Hari-hari berikutnya, hubungan Divney dan Devian tampak semakin erat, dua remaja itu semakin dekat, dengan waktu cepat mereka sudah bisa mengenali karakter satu sama lain.

Devian juga tampak sangat menyayangi Divney, membantu gadis itu dalam setiap hal, sampai-sampai membuat Divney yakin akan kesungguhan dari perasaan cinta Devian kepadanya.

Namun ada satu hal yang terus mengganjal di benak Divney. Cakra. Setelah terakhir kali mereka bertemu, tepatnya empat hari yang lalu, Divney sama sekali belum pernah melihat lelaki itu lagi. Cakra tidak berangkat ke sekolah. Bahkan tidak membaca pesan-pesan dari Divney. Lalu, ke mana dia?

Gadis itu menghela napas lirih di tengah suasana kelas yang masih sepi dan hanya terdapat beberapa anak saja, tampaknya Divney berangkat terlalu cepat pagi ini.

Srek

Divney menoleh cepat ke sumber suara, sebuah kotak makan berwarna hitam kini sudah terpampang di hadapannya. Seseorang baru saja menyurukkan kotak bekal itu ke arahnya.

Tersenyum simpul, Divney sudah tau siapa yang baru saja datang, sejak berpacaran dengan Devian sudah menjadi kebiasaan baru bagi Divney mendapat kotak bekal setiap pagi.

"Salat sayur sama sosis," ucap Devian, lalu duduk di samping sang kekasih.

"Makasih, Mas Pacar!" sahut Divney sumringah, bersiap membuka tutup bekal, namun seketika terdiam, mengurungkan niatnya.

Divney melirik aneh ke arah Devian. "Lo 'kan udah tau gue gak suka sayur," sahutnya mencebikan bibir, menjauhkan kotak bekal dari hadapannya.

Menghela napas sabar, Devian meraih kotak bekalnya yang baru saja di tolak oleh Divney, lalu meletakannya kembali ke hadapan gadis di sampingnya.

"Sayuran itu penting untuk kesehatan, mulai sekarang lo harus belajar makan sayur dikit-dikit. Tadi udah gue mix pake buah juga, kok. Cobain. Lo pasti suka."

Seketika Divney menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangan. "Eummm!!!" Gadis itu mengatupkan mulut rapat-rapat sembari menggelengkan kepala cepat.

Tak menghiraukan Divney yang tetap kekuh tak mau memakan bekal yang dia bawakan, Devian meraih kotak bekal itu, membuka tutup kotak, lantas mengambil setengah sendok salat sayur dari dalamnya.

"Buka mulut ... emang lo yakin gak mau cobain salat sayur buatan gue?" rayu Devian, nadanya terdengar lembut.

Divney diam beberapa saat, tutur kata Devian hampir berhasil menggoyahkan pendiriannya, namun tak bertahan lama, Divney langsung menggelengkan kepala, tanda penolakan.

"Sumpah, gue gak doyan sayur, Dev. Kalo gue kena muntaber abis makan tuh salat, emang lo mau tangguh jawab?"

Meraih tangan Divney agar menjauh dari mulutnya, Devian masih mengulas senyum tipis.

"Kalo nanti lo kena muntaber, gue bakal rawat lo sampe sembuh. Jangan khawatir. Sekarang, buka mulut."

"Gak mau!"

"Ayolah, By."

By untuk Baby, setiap kali Devian memanggilnya dengan panggilan seperti itu, apa lagi dengan nada lembutnya yang khas, entah kenapa langsung membuat Divney merasa benar-benar nyaman dan lemah.

"Sekali aja?" tawar gadis itu.

Devian mengangguk cepat. "Setelah nyobain sekali, gue yakin nanti bakal ketagihan."

Ragu-ragu Divney membuka mulutnya, lalu dengan ekspresi sumringah Devian menyuapkan sendok berisi salat di tangannya ke dalam mulut Divney.

Ingin tau bagaimana reaksi beberapa murid di dalam kelas, setelah mereka menyaksikan adegan dua remaja yang tengah dalam masa kasmaran itu?

Mereka cengo, sungguh, pengalaman langka bagi mereka melihat sosok Devian yang biasanya seperti es batu kini meleleh hanya karena seorang wanita yang berhasil memenangkan hatinya. Itupun dengan cara yang tidak logis. Apa lagi setelah mengingat bagaimana perlakuan Devian kepada Divney saat pertama kali mereka bertemu.

"Gimana? Enak, 'kan?" tanya Devian, setelah mendapati ekspresi speechless yang ditunjukan oleh Divney, setelah menelan salat sayur yang baru saja di suapkan olehnya.

Tak menjawab pertanyaan Devian lagi, Divney langsung menyahut kotak bekal dari hadapan Devian.

"Yaudah, deh, kalo lo emang maksa, gue abisin aja salat sayurnya ... lagian 'kan yang buat pacar sendiri, mubazir kalo gak di makan," ujar Divney, yang hanya mendapat kekehan gemas dari Devian.

To Be Continued....

Bad AssociationWhere stories live. Discover now