Rabu, 20 September 2017

61 15 2
                                    

Soundtrack for this chapter: It had to be you - Frank Sinatra


Rayya melongok pada minuman Henry yang masih sisa setengah. Tidak seperti biasanya, Henry lebih banyak diam. Henry sangat menyukai datang dan bersosialisasi di suatu acara jika ia memang mempunyai kepentingan, sayangnya ia tidak melihat apapun yang menguntungkan dari datang ke acara ini selain bisa menghabiskan waktu bersama Rayya.

Perhatian Henry teralih pada usapan  berulangkali  Rayya pada lengannya sendiri. Henry bukannya tidak tahu jika Rayya banyak mengundang perhatian malam ini, namun moodnya terlalu buruk untuk marah-marah pada Rayya; Kadang Henry berpikir, sampai kapan Rayya tidak sadar kalau dia adalah orang yang dikategorikan menarik bagi banyak orang.

"Kakak bosen ya? Maaf ya kak..."

Senyuman tipis mekar dari bibir merah Henry. "Yang bosenin kan acaranya, bukan kamu. Kenapa kamu yang minta maaf?"

Rayya menundukkan wajahnya, ia tidak mau Henry tahu bahwa jawabannya barusan mampu membuatnya tersipu. 

Saat itu seharusnya adalah malam di tengah bulan September yang panas, namun tanpa disangka udara malah terasa dingin. 

Rayya bingung karena kampusnya hanya berjarak kurang dari satu kilo dari kostnya dan ia bersumpah tempat dimana ia tinggal selama ini  seperti matahari hanya berjarak lima jengkal diatas kepala. Udara selalu terasa lembab dan gerah-Maurin sering berkelakar kalau kamar mereka bisa merangkap sebagai sauna pada saat-saat tertentu.

"Sebentar lagi acaranya kelar kok kak. Tinggal dansa tribute aja untuk Madam." Sejujurnya, perut Rayya terasa geli saat mengucapkan itu.

"Padahal kalo selenggarain charity night doang bisa ya, ini siapa sih yang jadi inisiator acaranya?"

"Karish kak." 

"Oh pantes.." Henry menggerutu dibawah napasnya.

Rayya tiba-tiba menatap Henry dengan mata bulatnya, Henry tidak dapat memikirkan respon selain mengangkat kedua alisnya sebagai pertanyaan tidak langsung.

"Aku ga pantes kali ya pake dress, banyak yang liatin aku kayak gini."

Kali ini Henry tidak mampu menahan tawanya, Rayya adalah orang terpolos yang pernah ia temui selama hidup hampir 20 tahun. Henry hampir-hampir tidak percaya kalau gadis itu betul-betul tidak menyadarinya sama sekali.

"Jangan terlalu mikirin gimana penilaian orang lain. Kalo kamu mau tau, mereka juga nggak mikirin kamu seserius itu." Sebetulnya Henry bisa saja menjawab secara terang-terangan kalau Rayya memang sangat cantik dengan balutan dress warna red wine yang jatuh tepat diatas lutut. Tapi Henry sudah kelewat sering menggoda Rayya, ia tidak mau Rayya mengetahui kalau ia sedang naksir berat.

"Hehe, iya juga sih kak." 

Rayya memainkan roknya tidak sadar, wajahnya bersemu merah saat netra cokelatnya bertemu dengan mata abu Henry yang melembut.  Cahaya yang menyinari mereka berdua hanya berasal dari string light yang berpendar tepat diatas tubuh jangkung Henry. Pipi Rayya makin menghangat saat Henry dengan sengaja menyentuh tangannya yang bebas.

"Terus tiket ini  buat apa?" Henry mengambil tiket yang sudah lusuh dari saku celananya.

"Oh itu buat doorprize deh kayaknya kak, aku juga kurang paham tapi kata senior jangan dibuang." 

"Hah? Karish aneh amat sih bikin acara, charity night ngapain pake doorprize segala, mending duitnya disumbangin lagi." Tukas Henry bingung.

"Hehe, yaudahlah kak, biar rame kali." Lanjut Rayya.

Jika yang menjawab seperti itu adalah orang lain, mungkin Henry sudah mengajak untuk berdebat. Beberapa orang tidak bisa membedakan kapan harus menerima keputusan orang lain dan kapan harus sadar kalau ia sedang dibodohi. Meskipun Henry sadar kalau melawan arus memanglah sebuah kemewahan yang tidak semua orang miliki.

Patah Hati Dalam KalenderWhere stories live. Discover now