Senin, 2 Oktober 2017

57 15 0
                                    

Soundtrack for this chapter: Lonely - Justin Bieber


Rayya punya banyak sekali kekurangan, dan ketika usianya menginjak 18 tahun ia baru sadar bahwa ia payah sekali dalam multitasking. Ia seharusnya mendengarkan ocehan Pak Wawan mengenai range nilai probabilita, namun pikiran Rayya tidak ada di kelas sama sekali. 

Ia terlalu khawatir dengan kondisi Henry. Abe memberitahu kalau Henry terpaksa absen dan pulang lebih cepat karena tidak enak badan. Rayya tidak ingin berspekulasi, namun ia tahu kalau kekasihnya bukan tipe orang yang gampang sakit. Pasti ada sesuatu diluar kebiasaan Henry yang menimbulkan hal tidak biasa itu. 

Dan hal paling tidak biasa yang Henry lakukan dalam seminggu terakhir hanyalah mengiyakan ajakan Rayya untuk jajan dipinggir jalan; Henry kelihatan sangat menikmati cilok dan esnya-Rayya sampai memberikan bagiannya pada Henry.

Rayya menilik jadwal mata kuliah yang ia jadikan wallpaper handphone, seharusnya ia masih mempunyai satu kelas pengantar akuntansi  pada jam dua siang. Ia menimang-menimang apakah harus absen saja dan pergi menjenguk Henry, atau menyelesaikan kelas hari ini lalu baru kesana. Pak Agus bukan Dosen yang paling baik hati, sejujurnya Rayya takut jika harus absen.

Gawai Rayya bergetar, mata cokelatnya membulat mengetahui nama Henry yang muncul di layarnya. Hanya ada satu kalimat yang terpampang disana namun membuat tekad Rayya seketika membuncah.

"Aku sakit, kamu nggak bisa temenin aku?"

Pembelaan Rayya hanya satu, ia belum pernah absen sama sekali. Rayya berharap hari ini Pak Agus sedang banyak uang sehingga tidak kepikiran kenapa murid penerima beasiswa itu tiba-tiba saja tidak nongol dikelasnya.

--------------------------------

Henry tahu seharusnya ia tidak usah sok keren di depan Rayya. Sakit perut yang sekarang ia rasakan tidak sebanding sama sekali dengan rasa cilok yang Henry akui sangat enak itu. 

Aneh rasanya harus melewatkan kelas karena sakit. Ia lupa kapan terakhir kali absen-mungkin saat SMP waktu tangannya patah dan harus masuk rumah sakit. Semua yang dekat dengan Henry paham betul kalau ia orang yang jarang sekali sakit; Henry berterima kasih pada gaya hidupnya yang lebih suka ia sebut dengan teratur.

Ia bukannya tidak pernah makan makanan pinggir jalan, sewaktu-waktu tentu ia jajan juga-jika terpaksa. Henry tidak ingin dibilang tidak sopan. Tapi, peran ibunya dalam mendoktrin Henry mengenai apa-apa saja yang harus ia hindari tertanam terlalu dalam. Dalam kondisi sepenuhnya sadar pun, Henry seakan-akan dapat mendengar suara sindiran Ibunya jika ia mulai sesukanya sendiri.

Kakinya terasa dingin meskipun sudah dibungkus oleh kaos kaki bahan wool. Ia kembali mengecek suhu pendingin ruangan, angka dua puluh delapan berpendar, tidak berubah sejak dua jam yang lalu. 

Henry punya banyak teman, banyak sekali. Namun saat ini tidak ada yang lebih ingin ia temui dibanding Rayya. Henry menatap tangannya yang ramping dan panjang, ia lebih suka saat ada tangan Rayya diantara jemarinya. 

--------------------------------

Dengan sengaja Rayya tidak melepas kaos kakinya. Ia berjalan dengan berjinjit berusaha tidak membangunkan Henry yang sedang tertidur pulas.

Henry terlihat baik-baik saja saat ia masakkan sarapan tadi pagi. Sisa teh hijau yang bercampur dengan es batu yang sudah mencair dan omelet yang masih sisa setengah belum berpindah dari atas meja-Rayya tidak dapat menemani seperti biasa karena ia punya kelas pagi, jadi ia tidak tahu kalau Henry tidak menghabiskan sarapannya.

Rayya menatap wajah Henry yang kelihatan pucat. Mungkin ini terdengar aneh, namun Rayya suka melihat Henry yang sedang tidur dan mendengar napasnya yang berhembus teratur. Ia merasa tenang saat mengetahui akhirnya Henry bisa istirahat. Ia senang mendapati Henry tidak pusing karena tugas kuliah atau urusan tokonya.

Patah Hati Dalam KalenderWhere stories live. Discover now