Jumat, 8 Desember 2017

86 15 10
                                    

Soundtrack for this chapter: Trouble - Cage The Elephant


Cilok yang masih panas itu kini tersisa tinggal setengah. Rayya tidak sengaja menjatuhkannya saat berusaha mengintip dari balik punggung Maurin yang lebar. Tatapan tajam dari Maurin hanya dibalas cengiran oleh Rayya.

Sejujurnya Rayya bingung harus bagaimana lagi memberitahu Maurin perihal kekasih onlinenya. Namun semenjak hubungannya dengan Henry juga sekarang sedang bermasalah, rasa-rasanya ia tidak mempunyai hak untuk memberikan saran apa-apa. 

Henry masih sebaik biasanya, namun sekarang entah kenapa seperti mulai ada tembok yang terbangun diantara mereka berdua. Baik Rayya maupun Henry jelas berusaha keras untuk menghindari percakapan mengenai orang tua Rayya-hal itu jelas terasa tidak nyaman. 

"Ray, sini deh cowok aku kirim foto, kamu mau liat nggak?" Maurin menyodorkan handphonenya pada Rayya.

"Eh serius?" Tentu saja Rayya mau, ia penasaran sekali dengan eksistensi kekasih Maurin itu. "Yah jangan di zoom dong." Protes Rayya.

Yang Rayya lihat saat ini hanya tangan yang dibalut jam tangan hitam, logo Daniel Wellington berwarna emas memantulkan cahaya flash dan membuat foto itu sedikit merah.

"Nggak aku zoom, ini dia PAP tangan dia, tadi aku juga udah kirim foto tangan aku hehe," jelas Maurin.

"O-Oh gitu.." Kenapa juga mereka mengirim foto tangan satu sama lain? "Terus kalian kapan mau ketemuan?"

"Katanya sih dia mau pulang awal taun."

"Oh pas dong pas liburan semester." Mata Rayya masih terpaku pada jam yang dipakai katanya-kekasih-Maurin itu.

"Iya nih, kamu mudik nggak Ray?"

Rayya tidak menjawab, ia masih berusaha mengingat-ngingat. Rasanya ia pernah melihat jam itu dipakai oleh seseorang tapi ia lupa siapa.

-------------------

Entah sudah keberapa kali kalender meja Henry bolak-balik. Hampir-hampir ia menyenggol buku tebal yang menumpuk disamping lengannya.

Abe melongok pada buku catatan Henry yang penuh dan tidak diragukan lagi, rapih. Ia jarang melihat Henry sebingung ini-bahkan saat Dosen tiba-tiba memberi kuis dadakan. Abe hampir-hampir tidak percaya saat menyadari kalau saat ini rambut Henry saat ini sudah melebihi kerah kemeja. Bertahun-bertahun bersahabat dengan orang yang hidupnya kelewat teratur seperti Henry, Abe tidak pernah melihat Henry melewatkan jadwal potong rambut.

"Lu kenapa?" tanya Abe pada akhirnya.

"Apanya?" 

Betul juga, rasanya jijik sekali jika ia ketahuan memperhatikan rambut Henry yang sedikit lebih panjang dari biasanya.

"Barber langganan lu tutup apa? Berantakan amat." kilah Abe, ia berusaha meraih rambut Henry.

"Jangan pegang, nggak sopan lu pegang-pegang kepala orang." Henry menepis tangan Abe yang hampir mampir di kepalanya. "Males gue, entar aja sekalian abis ujian kelar, nanggung." 

Pada kenyataannya, Henry betul-betul lupa. Ia sibuk belajar untuk ujian dan memikirkan nasib hubungannya dengan Rayya. Akan sulit untuk berlanjut jika mereka tidak mendapatkan restu dari salah satu orang tuanya. Henry sangat tidak ingin hubungannya dengan Rayya berakhir. 

"Oit." 

Henry sejujurnya tidak suka dengan cara Abe memanggilnya. "Apa?"

"Cewek lu tuh."

Kepala Henry langsung terangkat lalu menoleh cepat. "Mana?!"

"Jiaahh, kangen kali lu sama cewek lu hahaha." Abe terlihat kesulitan menahan tawanya-mengingat saat ini mereka masih di perpus. Punggungnya sampe gemetaran, ia mengeluarkan suara serupa anjing laut yang tersedak batu.

Patah Hati Dalam KalenderWhere stories live. Discover now