Senin, 31 Juli 2017

152 21 0
                                    

Soundtrack for this chapter: More than Friend - Aidan Bissett

Sesungguhnya Henry tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencari pengganti Rayya-Bukannya mau sombong, wanita memang bukanlah sebuah masalah bagi Henry sejak awal.

Dan yang harus kalian ingat mulai sekarang adalah, Henry sangat membenci kata 'Tapi'. Namun sepertinya kali ini Henry harus mengakui bahwa setidaknya beberapa kali dalam hidupnya, ia memang harus mengecap kekalahan.

Terutama saat menyadari kalau sekarang Rayya sudah menjadi alasan dari semua kata 'Tapi'nya itu.

Ia sangat malu untuk mengaku, Tapi-oh betapa ia benci kata itu, untuk saat ini wanita-wanita itu tidak ada yang semenarik Rayya dalam sudut pandang matanya.

Kau tahu kalau otakmu sudah sepenuhnya kacau ketika hal-hal kecil yang dilakukan oleh orang yang kau sukai merupakan cara termanis, terlucu, terindah, dan kata ter lainnya.

Menurut Henry tidak ada wanita yang mampu mengibaskan rambut semanis Rayya-Ia jelas tahu sudah beberapa kali terpergok memperhatikan Rayya terlampau lama, dan ia tidak akan kaget jika ia akan disangka psikopat karenanya.

Green juice milik Henry sudah berair, Egg Muffin yang baru ia makan setengah sekarang sudah terlihat tidak seempuk sepuluh menit yang lalu. Namun pikirannya masih dalam dunia imajiner yang sering ia kunjungi sebulanan terakhir. Dunia dimana ia sedang mengecup bibir ranum Rayya dibawah langit pagi biru dengan awan seempuk popcorn.

----------------------------------

Rayya masih duduk termenung diujung kasur busa. Matanya masih memandang nanar layar handphone yang sudah retak ditiga sisi. Isi chat itu hanya sebuah kombinasi dari 3 alfabet.

'Hei.'

Yang Rayya permasalahkan bukanlah isinya, namun pengirimnya. Si kakak tingkat itu benar-benar membuatnya pusing. 

Tidak banyak hal yang Rayya mau. Namun dari beberapa hal yang tidak banyak itu, ada satu hal yang sangat ia inginkan, yaitu kuliah dengan normal, cukup ikut organisasi dan selesai tepat waktu. Dalam hematnya, Rayya tidak mau mencolok-mencolok amat. Dan memiliki hubungan dekat dengan salah satu orang yang populer di kampus tentu jauh dari apa yang sudah Rayya rencanakan.

Rayya paham betul ia siapa, terlebih Henry itu siapa. Rayya tidak mempunyai apapun itu yang ia anggap dapat menarik perhatian Henry. Rayya paham betul kalau ia masih bisa dikategorikan sebagai orang dengan wajah yang menarik, namun ia tidak secantik Kaia Gerber yang bisa membuat seorang Henry begitu penasaran.

Salah satu hal yang selalu Rayya ingat baik-baik sehari sebelum merantau hanyalah ucapan Ayahnya. Bahwa dunia memang sudah gila dan kita tidak usah ikut-ikutan berpartisipasi didalamnya. Akan banyak sekali skenario yang lebih aneh, rumit dan sadis ketimbang kasus di novel Agatha Christie.

Ayah bilang, kita harus menikmati hidup tapi harus waspada untuk tidak terlena dengan kenyamanan berlebihan dari apapun itu bentuknya-terutama yang berbentuk manusia.

Rayya memegang tali ranselnya erat-erat. 15 menit lagi kelasnya akan dimulai, namun notifikasi baru yang muncul di lockscreen handphonenya membuat ia makin ingin bolos saja.

'Mau aku jemput?'

---------------------

"Gila kali ya kamu ga bales chat Kak Henry!"

Tatapan tidak percaya dari Maurin masih berulangkali mampir di tubuh pendek Rayya.

"Lagian dia bisa tau kontak aku darimana?" Tanya Rayya sewot.

"Kita semua kan satu grup organisasi di Line Ray, ya pasti lah dia punya kontak kita."

Rayya betul-betul lupa akan hal itu. Semingguan ini kepalanya hanya berisi kumpulan tugas kampus-dan bagaimana cara membuat uangnya yang tinggal seratus ribu rupiah bisa bertahan sampai kiriman uang selanjutnya.

Rayya menatap Maurin sayu, ia mengibaskan tangannya sebelum membalikkan badan. "Udah deh gausah dipikirin."

"Bales Ray, gimanapun dia senior, kalau sampe dianggep nggak sopan nanti kamu juga yang repot."

Sepertinya Rayya memang tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalanya sebelum pergi.

--------------------------------

Dugaan Henry kali ini tepat, si rambut keriting itu sedang duduk di pojok perpustakaan kampus, kelihatannya sedang merangkum sesuatu.

Susah payah Henry menyembunyikan senyuman yang begitu saja muncul, sulit sekali ia tahan. Kaki jenjangnya mudah saja melangkah diantara mahasiswa lain yang mengelilingi rak-rak buku.

Fokus Rayya masih belum beralih dari tugas merangkumnya. Sebelum ia sadari orang yang paling ia hindari hari itu sudah menempati kursi disebelahnya.

"Kamu tau password wifinya?" Tanya Henry sembari menyalakan Macbook.

Dengan wajah bingung Rayya memandang ke sekeliling, kepalanya makin pening saat tahu masih banyak kursi kosong selain kursi disebelahnya.

"FE201733 Kak." Jawab Rayya pelan.

"Oh kamu konek ke wifi?" Cecar Henry lagi.

"Iya kak."

"Ada koneksi internet dong, tapi kok nggak bales chat aku ya?"

Jika ini adalah komik Jepang, Rayya jelas-jelas bisa merasakan petir sedang menyambar dibalik punggungnya. Ia hampir-hampir gelagapan mencari jawaban yang tepat.

"Eh itu kak, aku lupa soalnya hari ini banyak tugas yang belum aku kerjain."

"Oh gitu, terus jawabannya apa?"

"Jawaban...Yang mana ya kak?"

"Kamu mau besok aku jemput?"

Rayya terdiam sebentar sebelum menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha mengeluarkan senyum teramah yang bisa ia pikirkan-Dan untuk sesaat Henry merasa ia baru saja mengintip taman terlarang milik Tuhan.

"Maaf kak, tapi kost aku ada di gang sebelah kampus, jalan kaki cuma sepuluh menit, kayanya aku nggak perlu dijemput deh." Jelas Rayya hati-hati.

Ingin rasanya Henry membalikkan meja yang ada didepannya-Namun tentu saja, ia mempunyai image yang harus selalu ia jaga. Henry tersenyum sejenak sebelum mengemasi Macbooknya dan pergi.

------------------------------

Ada banyak perasaan yang sulit Henry terjemahkan, dan perasaan ini adalah salah satunya. Meskipun Henry memang jarang menerima penolakan, namun rasa sakit yang menghinggapi hatinya saat ini adalah sesuatu yang belum pernah Henry rasakan.

Dadanya terasa sesak saat bibir merah Rayya lagi-lagi mengatakan kata tidak. Ia harus pandai menahan diri karena tahun ini sudah satu Macbook dan satu Iphone miliknya hancur karena ia banting-sekaya apapun orang tua Henry, jika ia terus-terusan membanting barang, besar kemungkinan ia akan dijadwalkan menghadiri sesi terapi dengan psikiater.

Kasur empuk yang menempel dipunggungnya terasa seperti obat pereda nyeri sementara. Dua menit lagi pasti hatinya akan terasa sakit lagi. Dan ia hanya bisa mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Sejak kecil orang tua Henry mengajarkan bahwa laki-laki harus kuat, tidak boleh cengeng dan banyak merengek. Jika tahu anak laki-laki bungsunya itu bersedih karena cinta apa yang akan mereka katakan?

Henry bukanlah orang yang pandai mengemukakan perasaan. Yang ia tahu ia sangat benci rasa ketidak berdayaan-lagipula laki-laki tidak boleh menangis bukan?

Mata Henry sudah sepenuhnya memerah, sulit menerka itu disebabkan oleh amarah atau hal yang lain. Dengan sisa kesadaran terakhir kalimat singkat terujar dari bibirnya. "Tidak boleh menangis."

Sehat-sehat terus ya kalian, hindari berkerumun atau berpergian jika tidak urgent. Rajin cuci tangan yg pasti harus selalu pakai masker. Jangan lupa jajan supaya Indonesia terhindar dari resesi. See you next weekend 👍🏻

Patah Hati Dalam KalenderWhere stories live. Discover now