Minggu, 8 Oktober 2017

75 17 5
                                    

Soundtrack for this chapter: Keep Your Head Up Princess - Anson Seabra


Hanya vanilla yang dapat Henry rasakan. Penasaran, lidahnya menjilat sekali lagi. Senyum Henry mengembang saat melihat Rayya yang ada dibawah dagunya. Ia sesekali melihat jamnya yang sekarang  menunjukkan pukul satu dini hari.

Sunyi, hanya ada suara bisikan Rayya dan wajah kecilnya dibawah temaram sinar bulan. Sesekali Henry dapat mendengar suara deru motor dan gerimis kecil yang menimpa asbes. Es krim vanilla ditangan Henry meleleh dan membasahi setengah ibu jarinya. Entah karena apa, Rayya bilang ingin makan es krim-padahal sudah malam dan diluar hujan.

Henry tidak pernah mengerti bagaimana Rayya selalu bisa membaca pikirannya. Rayya selalu tahu kalau Henry butuh tissue, atau lebih dahulu menawarkan minum karena tenggorokannya terasa kering. Padahal baru beberapa bulan saja mereka menjalin hubungan tapi Rayya selalu memastikan kalau pada hal sekecil apapun akan mengingatkan Henry pada gadis keriting itu.

"Kamu tau nggak?" Bisik Henry tiba-tiba.

"Nggak, kan Kakak belum kasih tau." 

"Aku sayang kamu..Banget." Henry tersenyum hangat. Tangannya mengusap pipi Rayya.

Raya meletakkan tangannya diatas tangan Henry. Ia baru sadar kalau ada perbedaan yang signifikan antara ukuran tangannya dan tangan Henry.

"Tetep sayang meskipun setiap hari aku ngeluh capek kuliah?" Rayya terkekeh.

"Iya."

"Tetep sayang meskipun aku minta es krim jam 11 malem?"

"Iya."

"Makasih.."

Detik itu, semua sakit hati Rayya yang terjadi sebelum ia bertemu Henry terasa masuk akal. Ia tidak pernah tahu bagaimana caranya Henry selalu mengerti semua keinginannya tanpa harus keluar satu kata pun dari mulut Rayya. Henry selalu tahu kapan harus memegang tangan Rayya, atau memeluk Rayya setelah semua keluhan tentang kuliah yang tidak pernah ada habisnya.

"Kamu bakal tetep sayang aku nggak kalau suatu saat aku sakitin kamu?" Mata Henry menerawang jauh, hatinya berdesir, ia sendiri tidak tahu itu adalah pertanyaan atau peringatan untuk Rayya.

Rayya tidak langsung menjawab, ia memainkan stik es krim sebelum dilemparkan ke tong sampah. "...Iya."

Henry langsung menengok, "Kenapa?"

"Aku tau kakak sayang sama aku, kalau nanti kakak sakitin aku, aku tau...Kakak aslinya gamau kayak gitu..." Mata Rayya meneduh, ia mengeratkan pegangan tangannya pada Henry. "Kalo sakitnya sama Kakak aku mau, gapapa."

Mungkin Henry lupa cara bernapas, ia benar-benar tertegun akan jawaban Rayya barusan.  Henry punya banyak mantan kekasih, namun ia tidak pernah merasakan jatuh sedalam ini. Setiap melihat Rayya satu-satunya hal yang terlintas dipikirannya hanya betapa ia menyayangi gadis yang ada didepannya.

"Jangan, nggak boleh ada yang sakitin kamu." Gerutu Henry mengusap rambut Rayya.

"Hehe, iya." Suara Rayya hampir tenggelam diantara suara gemerisik daun.

Mata Henry terpaku pada bibir ranum Rayya. Jika sudah saatnya akan ia pastikan kalau seluruh bagian dari diri Rayya akan Henry miliki. Untuk saat ini, tangan dan kepala Rayya yang bersandar pada pundaknya sudah lebih dari cukup.

Henry berharap waktu membeku dan malam ini tidak pernah selesai-Matahari tidak pernah terbit dan Rayya terperangkap dalam rangkulannya sampai dunia berakhir.

------------------------------------

Mata Ayah Rayya memandang Henry dengan lekat. Entah kenapa rasanya jauh lebih menyeramkan ditatap oleh Ayah Rayya ketimbang berhadapan dengan Menpora-yang memang pernah Henry lakukan ketika ia berusia 18 tahun.

Patah Hati Dalam KalenderWhere stories live. Discover now