Sabtu, 7 Oktober 2017

66 15 6
                                    

Soundtrack for this chapter: That's What I Like - Bruno Mars


Mungkin Rayya bukanlah orang yang paling berpengalaman dalam urusan percintaan. Namun, satu hal yang ia tahu pasti, ia paling malas jika harus beradu argumentasi dengan pasangannya. Ia lebih memilih untuk merangkum 500 halaman jurnal ilmiah ketimbang harus adu mulut dengan Henry.

Berulang kali mata Henry mencari mata Rayya. Henry juga tidak pernah menikmati pertengkaran dengan kekasihnya-yang memang sangat jarang terjadi. Tapi dalam beberapa hal, ia memiliki pandangan yang sangat berbeda dari Rayya. 

Bukannya Henry buta atau pura-pura tidak tahu, ia sangat sadar kalau cara orang tua mereka berdua membesarkan keduanya pasti sangat berbeda. Tapi Henry merasa kalau Rayya harus mulai membiasakan diri dengan apa-apa yang biasa Henry jalani; Entahlah? Semenjak Henry memang berniatan serius menjalin hubungan dengan Rayya, meminta kekasihnya untuk  mengikuti gaya hidup Henry pelan-pelan seharusnya tidak susah kan?

"Aku nggak ijinin, maaf." Suara Henry jelas meninggi tanpa ia sadari.

"Kak, ini acara keluarga aku, nggak perlu izin dari kakak deh kayaknya..." Timpal Rayya.

"Aku bukan nggak ijinin kamu kumpul sama keluarga kamu, aku nggak suka kamu ke Bogor naik motor. Itu jauh Rayya." Ucapan Henry terasa tajam ditelinga Rayya.

"Cuma satu setengah jam kak, paling lama dua jam, lagian bukan aku yang nyetir."

"Kalo kamu sakit gimana? Kalo di tengah jalan ujan gimana?" Rentet Henry.

"Ya jangan didoain dong..." Rayya menekan stempel pada berkas yang ada didepannya dengan gusar.

"Aku kan udah kasih solusi, kamu bisa pinjam mobil aku. Okelah sodara kamu nggak bisa nyupir mobil, aku kasih solusi juga bakal suruh supir aku untuk bantu, kurang apa sih pacar kamu Rayya?" Henry masih menyesal karena memiliki kelas pagi hari itu, ia sebetulnya ingin absen, tapi karena ada presentasi ia mengurungkan niatnya.

Rayya pun bukannya tidak mau, ia merasa Henry sudah melakukan terlampau banyak hal demi Rayya. Seperti menyediakan tempat tidur untuk Rayya pada saat ia bertengkar dengan Maurin-meskipun itu cuma sehari karena besoknya ia langsung berbaikan dengan Maurin. Lagipula ia bingung harus menjelaskan apa pada orang tuanya jika tiba-tiba datang dengan mobil ditambah supir pribadi pula.

Jika Rayya punya pilihan ia juga tidak mau datang ke acara tunangan kakak sepupunya itu. Rayya bukan orang yang pemilih, tapi keluarga dari pihak Ayahnya bisa dibilang orang berada semua dan terbiasa menilai kesuksesan orang lain hanya dari tebal dan tipisnya dompet mereka. Rayya tidak begitu nyaman diteror berbagai pertanyaan yang sebetulnya jika tidak ditanyakan juga dunia tidak akan kiamat-Seperti kenapa Ayahnya tidak kunjung naik jabatan, atau kenapa Rayya hanya mendapatkan beasiswa setengah, atau yang paling mengganggu kenapa motor Ayahnya tidak ganti-ganti.

Jika ia sampai memakai mobil Henry bukan hanya orang tuanya yang akan bertanya-tanya, ia yakin keluarga besar Ayahnya akan gempar dan ia enggan menjelaskan dari mana ia dapatkan mobil itu.

"Kak, aku mau tanya boleh?" Ujar Rayya pada akhirnya.

"Apa?"

"Kita udah pacaran berapa lama?"

Kening Henry berkerut, ia tidak mengerti kenapa Rayya menanyakan hal aneh pada saat seperti ini. Apakah Rayya tipe orang yang merayakan tanggal jadian tiap bulan?

"Dua bulan, kenapa emang?" Sebetulnya Henry tidak begitu yakin, semoga saja tebakannya tidak salah.

"Nah kak, sekarang umur aku udah 18, kita baru pacaran dua bulan..Itu tandanya sebelum ketemu sama Kakak, aku udah sekitar 17 tahun hidup sederhana kak dan masih sehat sampe hari ini. Jadi konklusinya, kakak nggak usah khawatir-khawatir amat."

Patah Hati Dalam KalenderWhere stories live. Discover now