Senin, 25 September 2017

66 14 12
                                    

Soundtrack for this chapter: Toothpaste Kissess - The Maccabees


Entah sudah berapa kali Rayya tersipu. Ia masih tidak percaya dengan apa yang sedang dipandangnya. Sebuah kartu wild card Uno bertengger manis di antara selipan struk Indomaret yang lupa Rayya buang.

Rayya mungkin tidak benar-benar  tahu apa yang ia pikirkan saat itu. Yang ia tahu dengan pasti adalah besar kemungkinan hidupnya akan berubah drastis.

-----------------------------

"Kamu jago main Uno." Cetus Henry.

"Hehe, aku sering begadang sama Maurin main ini kak." Jawab Rayya sembari melempar kartu +2.

Tepat seperti dugaan Henry, Rayya adalah orang yang gampang dialihkan perhatiannya. Berbekal satu pak kartu Uno, mulut gadis keriting itu akhirnya diam juga. 

Rasanya bukan lagi kupu-kupu yang sekarang memenuhi perut Henry, melainkan satu kebun binatang sedang bergemuruh disana.  Henry sadar betul umurnya sudah menginjak kepala 2, namun tanpa melakukan apa-apa, Rayya membuatnya merasa seperti remaja yang baru saja merasakan cinta.

Rayya menyibak rambut keritingnya, ia lebih banyak menunduk-bukan karena ingin menyembunyikan ekspresi, namun lebih karena malu berduaan malam-malam begini di taman kampus dengan Henry-Rayya jamin sekarang Maurin pasti sedang mencarinya kemana-mana.

Pendar cahaya dari gawai Rayya membuat Henry melirik dari balik kartunya. Menilai dari air muka Rayya yang tiba-tiba salah tingkah, Henry tahu gadis keriting itu menyembunyikan sesuatu.

"Kenapa nggak diangkat?" Tanya Henry acuh.

Rayya buru-buru meraih gawainya. "Nggak penting soalnya kak."

Mata Henry tidak minus, ia bisa melihat tulisan 3 missed call dari nomor yang sama pada layar gawai Rayya sebelum gadis itu berusaha menyembunyikannya.

"Kamu lagi deket sama orang lain?" Nada suara Henry kini terdengar mengintimidasi.

"Eh, itu..Bukan kak...Ada kating yang suka telponin, jarang aku respon kok, soalnya aku nggak suka." Rayya memang tidak sedang berbohong, selain karena tidak tertarik, ia tidak punya banyak waktu luang untuk meladeni telpon dengan topik yang tidak jelas.

Henry hanya mengangguk, dadanya terasa panas. Padahal sudah jelas ia sering menunjukkan ketertarikannya pada Rayya didepan banyak orang. Harusnya pria manapun di kampus sudah sadar diri saingan mereka siapa jika ingin menarik perhatian Rayya.

"Kamu punya pulpen?" Tanya Henry tenang.

"Eh ada sih kak buat apa emang?" Rayya hampir mengangsurkan pulpennya pada Henry ketika matanya membesar menyadari sesuatu. " Aahhhh kakak dapet custom free draw yaaa???!! Kakk pliiiss jangan kakk plisss, aku mau uno gamee." Rengek Rayya.

Rayya mengangkat pulpennya tinggi-tinggi, namun ia lupa kalau Henry jelas jauh lebih tinggi daripada dia. Dengan satu gerakan cepat, Henry merebut pulpen dari tangan Rayya karena tindakan bodohnya.

Saat Henry sudah mulai menulis Rayya hanya bisa pasrah. Ia sudah banyak kalah dari Henry, ia ingin setidaknya dalam satu hal saja bisa mengalahkan Mahasiswa terbaik seangkatan itu.

"Draw 30 atau jadi pacar aku?" Henry membalik kartu yang berada diantara jari-jarinya.

Butuh sekitar 10 detik bagi Rayya untuk mencerna ucapan Henry. Seberapa keras pun gadis itu berpikir, ia tidak bisa menerka maksud dari perkataan pria bermata abu itu.

"Eh? Aku nggak ngerti kak?" Tangan Rayya kini sudah sepenuhnya gemetar.

"Pilih, kamu mau draw 30 atau jadi pacar aku." Respon Henry tanpa ragu.

Patah Hati Dalam KalenderWhere stories live. Discover now