Sabtu, 23 Desember 2017

147 11 6
                                    

Soundtrack for this chapter: Pump up kicks - Foster the People

Untuk pertama kalinya, Rayya dan Henry tidur dalam satu kasur malam itu. Usapan Henry pada pundak Rayya tidak berhenti sebelum ia memastikan gadis yang saat ini ada dipelukannya sudah tertidur lelap. Henry tidak pernah sadar, kulit Rayya hampir selalu dingin saat disentuh.

Suara Rami Malek yang terbata-bata saat memerankan Elliot Alderson adalah satu-satunya sumber suara di dalam kamar Henry saat ini. Suara napas Rayya kadang menyelinap diantaranya.

Rayya memeluk lengan Henry erat sekali. Ia tahu Rayya berbeda dari gadis-gadis yang pernah ia kencani, karena ketika Rayya menyentuhnya terasa ada bintang gemintang yang berdansa disana. Henry sulit menjelaskannya dalam kata-kata, namun kurang lebih seperti itu rasanya.

Dulu sebelum berpacaran dengan Rayya, Henry sering kali bertanya-tanya, bagaimana rasanya dapat membelai rambut keriting Rayya? Apakah suara tawa Rayya selalu seperti itu setiap waktu? Apakah Rayya pernah memikirkan Henry pada waktu yang sama saat Henry sedang memikirkannya? 

Ada satu masa dalam hidup Henry, memimpikan Rayya adalah bentuk pelarian besar dari kehidupannya yang padat dan melelahkan.

Henry selalu merasa selama ini Rayya seperti hidup dalam sebuah buku yang berisi kumpulan-kumpulan kalimat; perasaan yang selama ini sangat sulit Rayya ungkapkan dan mungkin juga tidak mampu Rayya definisikan. Gadis itu kelewat pendiam, Henry tidak pernah mendengar Rayya mengeluh selain pada dirinya. Hal itu membuat Henry berpikir, sebelum bertemu dengannya Rayya mengeluh pada siapa?

Beberapa malam memang terasa sangat sunyi. Dan bagi Henry malam itu adalah dimana ia mengetahui pikiran kekasihnya dipenuhi oleh ketakutan. Renungan setelah renungan setelah renungan, begitu terus tanpa akhir.

---------------------------------

"Emang Kak Abe buka booth apa?"  Rayya kembali mengulang pertanyaan yang sama.

Kening Henry berkerut, ia menatap Rayya bingung. " Kamu udah nanyain itu lima menit yang lalu."

Rayya buru-buru menunduk, sejujurnya ia tidak bisa fokus sejak tadi. Ia hanya merasa perlu mengucapkan sesuatu sebagai basa-basi; atau lebih tepatnya sebagai pengalih perhatian dari kejadian semalam.

"Kita bisa ke kampus bentar terus pergi ke tempat yang kamu mau setelahnya." Cetus Henry.

Lagi-lagi Rayya hanya diam, ia lebih sibuk memainkan sisa butiran nasi yang ada di piringnya. Jika ke kampus, ia pasti akan bertemu Maurin dan teman-temannya yang lain. Ia malas dicecar atau dipaksa menceritakan hal yang sedang ingin dia lupakan.

Gesekan antara kursi dan lantai membuat Rayya mengangkat kepalanya. Telapak tangan Henry yang besar kini sudah sepenuhnya menangkup wajah Rayya. "Kamu tau? Aku marah, sangat marah, kalau kamu mau Rayya, aku bisa, sangat bisa cari tahu orang itu dan aku patahin tangan dia saat ini juga." 

Tanpa harus melihat dua kali, Rayya sangat yakin Henry tidak sedang bercanda. Tidak ada keraguan bagi Rayya, ia jelas tahu Henry bisa melakukan itu detik ini juga.

Henry mencari kepastian dari mata Rayya, tangannya mengangkat gawai miliknya, seakan-akan memberitahu bahwa jarak keputusan Henry hanya beberapa milimeter antara layar dan jempolnya.

"Udahlah Kak, aku nggak bisa mikir apa-apa. Aku cuma mau lupain dulu, aku cuma mau sama Kakak aja buat sekarang, udah cukup...Aku, aku cuma mau peluk.." Mata Rayya memerah dan bibirnya bergetar pelan.

Tanpa pikir panjang Henry langsung menarik Rayya dalam pelukannya. Terasa begitu erat hingga Rayya dapat mendengar suara detak jantung Henry cukup jelas. Rayya tidak sadar kapan tepatnya, namun saat Rayya mencari ketenangan, Henry adalah tempat terfavoritnya untuk pulang.

Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Feb 04 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

Patah Hati Dalam KalenderWo Geschichten leben. Entdecke jetzt