Senin, 28 Agustus 2017

91 17 0
                                    

Soundtrack for this chapter: Feeling Good -  Michael Buble


Pagi itu Henry terbangun karena suhu AC kamarnya yang terlalu dingin-ditambah ia ketiduran sebelum sempat memakai baju.

Secara teknis sebetulnya saat itu masih terhitung subuh, belum pagi. Jam digital di atas nakas kamar Henry masih menampilkan pendar merah angka lima lebih lima.

Layaknya jam digital yang lain, jam yang Henry miliki juga memiliki fitur alarm. Salah satu fitur paling tidak berguna bagi dirinya-karena ia tidak pernah bangun kesiangan, ia memiliki semacam jam biologis yang mengatur kapan ia harus bangun yang jarang sekali meleset.

Jika punya waktu Henry akan melakukan cardio selama 30 menit dan mandi dengan air hangat setelahnya. Henry tidak pernah suka sarapan berat jika ia harus memasak sendiri, menunya tidak pernah jauh dari omelet telur dengan tumisan bayam, greek yoghurt topping buah, atau overnight oatmeal yang ia beli dari restoran sehat kesukaannya.

Meskipun orang tua Henry bersikeras untuk menghadiahkan Henry apartemen tipe studio yang dekat dengan kampus tempat ia kuliah, tetapi mereka tetap berprinsip kalau Henry harus bisa membereskan tempat tinggalnya sendiri serta bisa memasak-Ayahnya sering bilang itu adalah basic life skill, semua orang harus bisa tanpa peduli dia itu siapa.

Kalau boleh jujur, Henry juga rindu makanan rumahan. Sesuka apapun ia memasak, kalau sedang capek ia tentu lebih suka jika sudah tersedia makanan diatas meja. Sayangnya ia bukan tipe orang yang cukup percaya dengan makanan yang dijual dipinggir jalan.

Untuk kelas pagi Henry memilih memakai checkered pants Calvin Klein yang ia padukan dengan Polo warna kuning pastel keluaran Ralph Lauren musim panas tahun lalu. Sneakers Jordan dirasa tidak akan membuat penampilannya menjadi berlebihan.

Henry menyuap potongan omelet terakhirnya sebelum mengambil kunci mobil dan berjalan menuju lift.

------------------------------

Pagi itu Rayya terbangun karena kepanasan, rupanya Maurin dengan egois mengubah arah kipas angin dikamar mereka. Jam dinding masih menunjukkan pukul empat lebih lima belas. Tapi tanpa kepanasan pun Rayya memang selalu memaksa dirinya sendiri untuk bangun sekitar jam itu.

Selain karena ia masih punya tugas yang belum selesai, Rayya juga harus mendownload beberapa jurnal kebutuhan kuliah-yang hanya bisa ia akses subuh-subuh, mengingat kuota yang ia beli merupakan kuota unlimited dan hanya cepat koneksinya saat subuh saja, sisanya? Jangan tanya. Rayya bersyukur kuota yang ia beli cukup untuk mengirim chat, menerima info dan melihat youtube dengan resolusi 140p.

Setelah selesai dengan tugas, Rayya biasanya menyapu kamar yang salah satu sudutnya selalu menumpuk rontokan semen tembok. Untuk menghibur diri, Rayya selalu menganggap itu sebagai olahraga pagi.

Seperti Henry, Rayya juga tidak menyukai sarapan yang berat, ia lebih suka sarapan yang membuatnya kenyang. Menu sarapannya memiliki beberapa variasi, bisa nasi kuning, nasi uduk, lontong sayur atau bubur ayam. Semuanya disesuaikan dengan kondisi kantong.

Karena kamar mandi di kost-nya hanya ada satu, tentu ia harus bergantian.

Pagi itu Rayya memakai celana bahan sama seperti yang ia pakai kamis lalu dan kemeja flanel warna biru laut yang jelas-jelas kebesaran dibadannya. Jika uangnya masih cukup ia akan berhenti dulu didepan kampus untuk membeli cakue dan memakannya sembari menunggu Dosen datang.

---------------------

Dan seperti biasa, Henry begitu cemerlang dalam tugas presentasi acuan perilaku ekonomi dan bisnis. Sementara Rayya sedikit diomeli oleh Dosen pengantar bisnis karena kemejanya ketumpahan saus sambal cakue sehingga satu kelas tercium seperti sambal bakso yang bercampur masako.

---------------------

"Menurut kamu aku terima tawaran kak Henry ga ya?"

"Tawaran apaan?"

Rayya tidak segera menjawab, ia berhenti didekat trotoar parkiran kampus untuk mengikat tali sepatu yang mulai berubah warna.

Sejujurnya, Rayya tidak tahu ia harus membicarakan hal ini dengan Maurin atau tidak. Suara gemuruh kilat mengalihkan perhatian Maurin. Yang jelas itu membuat mereka berdua sama-sama bingung. Karena pagi ini panas sekali-dan masih bulan Agustus.

"Tawaran apaan, ditanya diem bae." Tanya Maurin lagi, jelas dengan nada yang tidak sesantai tadi.

Mata Rayya masih belum beralih dari awan mendung yang bergelung di arah barat. Mungkin ini bukan hal yang wajar dibicarakan dengan teman sebaya, Rayya tidak mau Maurin akan berpikir macam-macam tentangnya karena menerima tawaran Henry.

"Kalo nguntungin kamu jalanin deh beb, Kak Henry ganteng tau, tajir lagi. Sikat lah, munafik amat jadi orang." Tandas Maurin.

Saat itu Rayya tidak tahu jika Maurin seakan bisa membaca pikirannya. Tapi yang jelas ia menjadi agak bingung. Semuanya seakan valid saat parasmu rupawan-terlebih ditambah dompet yang tebal.

Tawaran yang Henry berikan mungkin tidak bisa dibilang biasa. Walau sedikit memalukan namun sepertinya tidak melanggar norma-kata sepertinya disini digunakan Rayya sebagai kata penghibur. Bisa jadi orang tuanya akan marah jika tahu, bisa jadi ia dianggap gila oleh teman-temannya jika menerima tawaran Henry.

Tapi saat itu, Rayya tidak bisa memikirkan opsi lain yang lebih mudah sebagai cara untuk mencapai tujuannya itu.

------------------

Banyak momen yang menjadi titik balik kehidupan pada tiap orang. Mulai dari momen luar biasa-seperti kelahiran, kematian, musibah. Hingga momen yang sangat remeh. Dan bagi Rayya, momen titik balik kehidupannya ternyata terletak pada satu chat yang ia kirim sore itu, didepan alfamart samping kampus saat sedang meneduh dari gerimis anomali saat matahari masih terik.

"Kak Henry, aku mau terima tawarannya."

Maaf lamaa sekalii updatenyaa, semoga kalian suka yaaa :)

Patah Hati Dalam KalenderOnde histórias criam vida. Descubra agora