Tuan Mati Ditelan Selindung Rindu [Bonus Part]

863 113 110
                                    


Jakarta, Indonesia, 1955

Hujan lagi mengguyur ini tanah yang hampir sepuluh tahun merdeka. Mengguyur dengan cukup deras, ditambah pula dengan petir saling bersambar-sambar mencipta simfoni memekak. Sedang betul-betul gelap ini suasana yang ada, sebab mendung menghalang baswara dari sang rawi untuk menumpah tanah ini.

Di dalam kedai kopi, seorang anak manusia lagi terduduk di kursi yang ada di sudut ruang. Ditemani sigaret di antara kedua belah bibirnya, ia menghadap keluar jendela. Memandangi hujan dalam keseriusannya.

Meja di hadapnya pula ada tersuguh secangkir kopi hitam panas. Di samping cangkir kopi ada sebuah lembar yang sudah jadi tampak usang warnanya.

"Sudah lama disini?"

Kehadiran seseorang yang ditandai dengan pertanyaan — secara tiba-tiba datang, mengundang pemuda itu untuk segera kembali lagi ke dalam kesadaran penuh.

"Cukup lama," jawabnya.

"Kenapa murung? Masih juga memikirkan dia?"

Pemuda tersebut tak menjawab. Ntah malas atau memang tanpa diberi jawaban pun sang pemberi pertanyaan sudah pasti dapat menebak jawabannya — sebab bukan kali pertama ia sering dijumpai dalam keadaan murung begini.

"Oh! Ayolah! Lupakan saja. Nasibnya pun sudah tak tahu dia ada dimana dan bagaimana."

Pemuda itu memilih tak menjawab. Dia cuma menghembuskan keluar asap rokok yang perlahan keluar dari hidung dan mulut sebagai unjuk ketidakpedulian pada apa yang dituturkan kawannya.

Lantas dia menatap keluar jendela penuh kehampaan. Digdaya Tuan bertahta telah sirna. Dan dia cukup beruntung, sebab disaat yang lain meringkuk dibalik gelapnya lokawigna dunia, dia justru bisa bebas melenggang kesana-kemari diiringi derai tawa melihat kawan-kawan sebangsanya lagi menuai pesakitan.

"Apa sebab kamu tak bisa? Kamu tampan, punya segalanya untuk gaet perempuan diluaran sana." Tuturan yang sesuai untuk mendeskripsikan seseorang penuai rindu tersebut. Dia betul amat terlihat sempurna. Surai coklat pirangnya kini tumbuh semi panjang, belah tengah. Misai tipis berwarna kecoklatan tumbuh di atas bibirnya, selaras sekali dengan warna rambut dan iris matanya yang melambangkan dia masih garis keturunan Eropa murni.

Tapi sayangnya, dia lebih menyenangi sendiri.

"Saya tak bisa dan tetap tak akan bisa." Lelaki tersebut masih menatap hampa ke arah luar — kekosongan akan dirinya meraup segala.

"Sebab...?"

"Sebab saya masih cintai masa lalu saya." Dan pemuda itu mematikan putung rokoknya, lalu memejam mata sejenak, menembusi ingatan demi ingatan akan perempuan yang pernah ia sakiti jiwanya.

Sejenak, ia meremas narasi bersaut partitur yang sengaja benar ia cipta teruntuk satu perempuan, tergeletak di atas meja. Demi seluruh rasa yang terpendam, ia kerap kali menumpah kekecewaan akan sandiwara yang ada — dan tanpa ia sadari, bahwa dia sendirilah dalang dari kesakitan yang kerap bertandang.

Küsse — judul dari simfoni yang dia buat, yang mana pula mengandung arti sebuah cumbuan.

Cumbuan akan keselarasan jiwanya ditahtai kehilangan tak ada henti. Bercumbu dengan kesedihan itu, agaknya sudah biasa ia alami. Sosok ibu dan perempuan yang dicintainya menghilang. Begitu juga dengan ayahnya yang memilih jatuh pada cinta dusta kemunafikan seorang perempuan.

Padahal, bisa saja kalau dia menerima semua dengan hati lapang, tentu nasibnya tak akan jadi begini macam.

Dan ... Robert menghela napas kasar mendengar seru kesedihan yang tertanam pada Joahn — Lelaki yang dikenalnya selama tiga tahun terakhir ini.

"Saya juga pernah mencintai satu perempuan. Dulu sekali. Sewaktu semasa masih bersekolah di HBS. Dia itu ... perempuan kedua saya yang cintai setelah bunda." Robert menjeda kalimatnya sejenak, menatap Joahn yang agaknya mendengarkan ia, walau pandangnya jatuh mengarah ke arah luar dari jendela di sampingnya.

"Dia itu berisik sekali. Tapi palamarta yang tersemat di jiwa itu sangat mempesonakan. Ada daya tarik sendiri. Biar ... sebenarnya saya tak suka mengatakan ini."

"Saya pula tak sempat katakan apa yang saya rasakan. Lagipula kalau saya katakan, belum tentu dia menganggap serius." Robert melemaskan posisi duduknya, bersandar pada kepala kursi. Sejemang ingatan pada apa yang pernah dia lakukan pada perempuan tersebut kembali melintas. Apalagi sebelum kepergian perempuan itu ke Bandoeng, sangat membekas.

Namun Robert tak memilih larut terlalu lama. Kembali ia pada kesadarannya. "Tapi waktu sudah berlalu. Dia masa lalu saya. Saya tak bisa mengharapkan dia kembali pada saya — walau dulu saya pernah mengharap demikian. Tapi sekarang ini saya menyadari, saya dan dia nyatanya cuma dipertemukan, bukan disatukan."

"Oh, ayolah! Berubah! Jangan terlalu membusuk dibayangi masa lalu begini. Hidup itu berjalan. Masa lalu itu gunanya untuk dikenang sekaligus jadi pembelajaran, bukan untuk memenjarakan diri disana."

Lagi-lagi Joahn memilih tak menanggapi. Dia lebih menghendaki memandangi rinai hujan dan menaruh simpatik padanya sebab bagi dia agaknya bumi lebih mengerti bagaimana perasaannya daripada manusia yang dianugerahi perasaan.

Dua anak manusia itu kemudian disibukan dalam dunianya sendiri-sendiri.

Joahn kembali mengambil sigaret dari saku jasnya, menyalakan pemantik api, kembali menyesapnya. Sedang Robert, beralih bercengkrama pada seorang wanita, wanita yang baru saja tiba datang guna menghampirinya — sebab Robert meminta wanita itu untuk menemuinya di kedai kopi yang sedang ia singgahi.

Dan wanita itu adalah wanita yang menjadi miliknya sekarang.

***
Terima kasih sudah singgah sampai sejauh ini
Selamat Malam! ♡

28 April 2021

[Lacrimosa]; Dara-Dara RuntuhWhere stories live. Discover now