6. Langkah Awal

80 60 30
                                    

"Kita hidup di antara para manusia. Jadi jangan bertingkah seolah hanya kamu yang manusia."

...........

****



"Mereka akan terus mengintai kemanapun kita pergi. Dengan cara apapun kita membodohi mereka. Tak akan mengubah fakta bahwa mereka akan selalu lebih unggul di bandingkan kita," Aglar duduk termenung, menautkan kedua tangannya.

"Sebuah fakta yang sering dilupakan. Nyatanya mereka jauh lebih pintar dari kita," Ettan berujar dengan santai. Mendapat persetujuan dari Javas yang asik memainkan handphone baru di tangannya. Tak menghiraukan keadaan di sekelilingnya.

Seusai acara bersantai waktu itu dengan petugas salon. Mereka berdelapan sepakat untuk membeli sebuah handphone agar memudahkan untuk berkomunikasi. Entah kapan terakhir mereka mengenggam benda canggih itu.

"Anehnya, mereka bahkan mampu melacak tanda pengenal yang sudah kita palsukan," Aglar bergumam mengingat kejadian di Bandara kemarin, saat tanda pengenal Jiren dapat terdeteksi.

"Kembali pada fakta awal. Nyatanya mereka lebih pintar dari kita," Ettan kembali mengulang kalimatnya dan lagi-lagi Javas menjentikkan jarinya, tanda setuju dengan ucapan Ettan.
Melihat hal itu lantas membuat Elang kesal, ia melemparkan bantal ke arah Ettan, tepat mengenai wajahnya.

"Juga staf Bandara yang menolongku dan Gempa kamarin," Jiren melihat ke arah Gempa dan diangguki pemuda tersebut. "Apa yang dia pikirkan?" Jiren masih bingung dan tak habis pikir dengan staf Bandara itu. Disaat semua orang ingin menangkap mereka. Tapi staf Bandara tersebut malah membantu mereka meloloskan diri.

"Apa dia laki-laki?" Javas yang sedari tadi diam asik memainkan handphone-nya kini langsung terjaga dari duduknya.

"Bukan," jawab Jiren singkat tanpa minat.

Javas yang mendengarnya lantas tersenyum dan kembali terfokus pada handphone.

"Apa kau tak curiga jika itu jebakan?" Aglar mencoba menebak.

"Aku juga berpikir seperti itu! Tapi Jiren tak percaya," balas Gempa bersemangat. "Aku sangat yakin, ini pasti ada hubungannya dengan pasukan gelap itu." Sambung Gempa berkacak pinggang.

"Pasukan gelap?" tanya Prisha mengernyit.

"Iya. Siapa lagi, kalo bukan Ghanser dengan pakaiannya yang serba hitam." Jawab Gempa.

"Ck..  kau tak berkaca? Coba lihat bajumu!" Rayn berdecak, melihat tingkah konyol Gempa. Bisa-bisanya dia menyebut Ghanser pasukan gelap dengan baju hitamnya. Sedangkan mereka berdelapan juga menggunakan baju serba hitam.

"Yaa.. tapi ini kan konteksnya berbeda," elak Gempa.

"Begitulah manusia, habis manis sepah dibuang. Saat sudah tak bersama, dihina. Dulu saja, saat masih di Ghanser. Kau bahkan kelewat tunduk padanya," cibir Ettan pada Gempa.

"Heh! Aku tak cukup lupa saat mereka merenggut paksa masa mudaku untuk hidup di tempat kelam itu!" Balas Gempa kesal.

"Sudah-sudah! Apapun itu, aku sangat yakin itu bukan jebakan," lerai Jiren mengerucutkan bibir.

"Bagaimana kau bisa yakin? Kita bahkan tak mengenalnya," ujar Gempa yang masih setia dengan teori awalnya.

"Aku dapat melihat dari matanya," Jiren menjawab mantap.

SIONTERWhere stories live. Discover now