Truth 7; Sometimes, Surprise Come Like A Bullet

10.1K 1.5K 869
                                    




Halooh, seneng deh di part kemarin rame wkwkwkw lucu bacain komen kalian. Gimana perasaaannya lihat om Hwang di Butter? Dahlah, dah kuhempas aja hape saking gantengnya ya ampun Om!

 Gimana perasaaannya lihat om Hwang di Butter? Dahlah, dah kuhempas aja hape saking gantengnya ya ampun Om!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Voter keberapa nih?





Bulan Februari, di mana nyaris penghujung musim dingin enggan untuk angkat kaki dari ranting-ranting pohon yang ramping. Suhu masih senang bermain-main pada angka sepuluh derajat selsius, dan suasana ruang tengah rumah utama Hwang terasa lebih panas dibandingkan kepulan teh hijau di atas meja. Jarum jam baru saja menunjukkan pukul delapan, hari yang cukup santai pada Sabtu pagi setelah sarapan.

"Jinhee, aku dengar laporan income di perusaan daerah Gangnam mengalami penurunan bukan?" Teh hangat di depan sang nenek mengepul. "Apa yang terjadi dengan proyeknya? Ada kendala?"

"Kau tahu kita tidak bisa bermain-main dengan anggaran investor Hongkong, Jinhee." Wanita dengan kerutan pada kening dan rambut abu-abu pada sisi dan kanan pelipis itu melanjut. "Kau sudah menghubungi Sekretaris Min? Atau aku saja yang menghubunginya langsung?"

Ayah Seojin tahu ke mana arah pembicarana ini. Berusaha agar suasana meja sarapan tidak terasa menyesakkan untuk dilakukan di pagi hari, Jinhee berkata. "Aku akan berbicara dengan Seojin setelah ia memenangkan tender di Sidney."

"Dia harus memenangkannya." Yun menukas tegas. "Nama baik Hwang dipertaruhkan."

Bahkan Jisu sebenarnya ingin cepat-cepat melangkah pergi seandainya Mama tidak menahan ujung bajunya untuk tetap duduk.

"Lagi pula, kenapa kalian dulu mengijinkan Seojin untuk menikahi gadis itu?" Nenek tiba-tiba mengalihkan topik dengan cepat, memang tidak ada yang bisa menebak bagaimana wanita dengan kacamata bulat itu menarik sebuah arus percakapan. "Lihatlah, setelah anak itu menikah bukannya lebih baik malah semakin menurun performanya. Dia sering bermain-main?"

Jinhee menjawab hangat. "Aku yakin tidak seperti itu, Bu. Seojin sebenarnya melakukan pekerjaannya dengan baik."

"Kau selalu membelanya. "

"Dia putraku, Bu." Jinhee Hwang tetap menimpali dengan tenang.

"Apakah kata-kata dia putraku akan selalu memaklumi apa yang Seojin lakukan?" Yun menukas tajam. "Tidak. Aku tidak melihatnya seperti itu."

Ayah dan Ibu Seojin terdiam, Jisu meremat tangannya di atas paha—takut, sedih dan ingin pergi saja rasanya. Atmosfer ruangan menggelegak tak nyaman.

"Aku masih kesal kalian mendukung Seojin yang tiba-tiba ingin menikah." Yun menyipitkan matanya beberapa saat, usianya yang sudah kelewat dewasa membuat ekspresinya nampak lebih tegas lagi. "Tapi ya sudah, toh itu anak kalian. Aku bisa apa sebagai neneknya? Terlebih tentang pilihan siapa istrinya," selorohnya.

Yun Hwang mungkin memang memiliki pengalaman hidup lebih banyak dan semua orang agaknya tidak ingin membantah secara terang-terangan. "Sora Egbert itu tidak terlihat menjanjikan. Apakah kalian berdua sudah benar-benar mencari tahu bagaimana latar belakang keluarganya?" Nenek Yun agaknya memang benar-benar muram dengan kejadian kemarin. "Setelah selama ini aku tetap tidak suka dengannya."

If Truth Can Lie ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang