19. Rahasia Kamar Kosong

3.8K 456 27
                                    

"Kau serius mengajakku kesini, Yang Mulia?"

"Kau penasaran dengan isinya bukan?"

"Hm, iya."

Tangan Dandelion digenggam, Athes segera membuka kunci kamar yang sudah tidak pernah dikunjungi selama 14 tahun.

Begitu terbuka, terlihat banyak properti yang terbuat dari bunga. Seisi ruangan juga dipenuhi ukiran bunga. Kamar yang begitu asri dan damai. Juga disana terdapat beberapa bunga yang tampaknya terawat dengan baik.

"Tidak seperti ekspektasiku."

"Maksudmu?"

"Ku kira akan banyak debu dan mungkin barang-barangnya banyak yang usang. Ternyata kamar ini begitu indah."

Athes membawa Dandelion ke sebuah ruangan yang ada disudut. Manik coklat itu berbinar-binar. Ruangan yang terbuat dari kaca ini menyimpan begitu banyak jenis bunga warna-warni. Setiap pot diberi nama sesuai jenis bunganya.

"Pantas saja Anda mengetahui banyak tentang bunga."

"Kamar ini adalah peninggalan istri ku. Janina."

"Istri?"

Athes mengangguk, ia menyentuh tiap bunga yang ada disana sembari berjalan. "Janina adalah Ibu Erdhal yang sudah meninggal 14 tahun lalu. Hanya kamar ini satu-satunya peninggalan Janina. Aku selalu merawatnya seorang diri agar kenangan Janina tidak menghilang."

"Tampaknya Anda sangat mencintainya, Yang Mulia."

Bibir Athes melengkung tipis. "Dia satu-satunya wanita yang membuat hidupku bewarna seperti bunga-bunga ini." Mata Dandelion bergulir kebawah melihat bunga yang disentuh Athes.

Mereka keluar dari sana. Disinilah dua sejoli itu saat ini. Didepan lukisan seorang wanita yang sangat cantik.

Tangan Athes mengusap pelan wajah Janina yang ada dilukisan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tangan Athes mengusap pelan wajah Janina yang ada dilukisan. Tatapan sendu dan rasa sakit kembali menyerang hatinya.

Dandelion yang turut merasakan kesedihan Athes pun langsung memeluk pria itu pelan agar ia bisa tenang. Tangan Athes berpindah kepuncak kepala Dandelion.

"Janina meninggal karena dibunuh saudaraku, Daisy. Itu sebabnya aku mengisolasi Karstan agar bisa menangkapnya. Tapi dia begitu pandai menyembunyikan diri selama 14 tahun."

Agaknya Dandelion sedikit terkejut lantaran Athes yang bersedia cerita tentang kehidupan pribadinya. Apa pantas Dandelion berprasangka bahwa Athes menganggapnya spesial karena lelaki itu menceritakan rahasianya?

"Kematian istri dan anak-anakku juga adalah ulahnya. Bagaimana aku bisa melepaskannya begitu saja?"

"Maksudmu Pangeran Darren dan Gleen juga adalah ulahnya? Bukan karena tenggelam?"

Athes menggeleng. Menarik napas panjang, ia mengangkat suara kembali. "Aku tidak mengungkap kejadian yang sebenarnya karena tidak ingin membuat orang-orang takut."

Dandelion menyenderkan kepalanya dibahu Athes. Ia akan diam dan menjadi pendengar yang baik untuk pria ini. Mungkin Athes memang sudah lama butuh teman bicara untuk menumpahkan semua yang ia rasakan.

"Dia adalah Kakakku yang sebenarnya ditunjuk jadi Putra Mahkota. Drew." Mengulas senyuman perih, mata Athes memanas. "Dia yang sudah membunuh Ibuku dulu, apa salah jika aku balas membunuh mereka semua yang sudah menganiaya Ibuku?"

Dandelion mendongak, raut muka Athes yang seperti ini, baru dilihat Dandelion sekarang. Athes tampak rapuh dan lemah. Raja Karstan yang diagungkan ini tidak lebih dari seorang anak kecil yang hanya ingin memperjuangkan hidupnya yang tidak adil.

"Bukan hanya Ibuku saja, dia juga membunuh wanita yang kucintai." Air mata Athes akhirnya luruh. Seorang laki-laki jarang menangis. Tapi jika ia menangisi seorang wanita, yakinlah wanita itu sangat berarti. Dandelion paham, Janina pasti seseorang yang begitu penting bagi Athes.

Tangan Dandelion terangkat dan menghapus air mata Athes. Manik mereka saling menumbuk dalam. Dandelion tersenyum tipis. "Kau bisa cerita padaku semuanya, Yang Mulia. Aku akan menjadi pendengar yang setia."

Segera saja Athes memeluk Dandelion dan menaruh dagunya diatas kepala si gadis. "Aku hanya ingin dirimu berada disisiku, Daisy. Aku tidak ingin kehilangan seseorang lagi."

Erdhal yang sudah berada cukup lama disana ikut menangis dalam diam. Tadinya ia hendak mengunjungi Dandelion melihat keadaan Assasinnya itu. Tapi malah berakhir mengikuti Ayahnya dan Dandelion yang menuju kesini dan bersembunyi diam-diam memperhatikan mereka. Mata sehijau samudera itu memandang intens pada sosok wanita dilukisan sana. Setidaknya Erdhal tahu bagaimana rupa Ibunya. Ia sangat cantik.

"Jika kau ingin melanjutkan ceritamu, aku bersedia mendengar, Yang Mulia."

Athes melepas pelukannya pada Dandelion. Tampaknya ia sudah cukup tenang saat ini. Dandelion kembali menghapus jejak air bening disudut mata Athes. Melihat itu, Athes tersenyum kecil. Mereka berpaling pada lukisan Janina lagi.

"Aku selalu menghabiskan hari-hari ku dikamar ini karena begitu tenang dan merasa kehadiran Janina kadang-kadang."

"Jangan bilang-"

Athes terkekeh pelan. "Bukan hantu yang ku maksudkan. Haha. Kau ini. Maksudku seperti terasa dia ada disini dan itu sangat membuatku tenang."

Dandelion manut-manut saja. Athes melanjutkan. "Kami dulu berencana memiliki 3 anak. Dua laki-laki dan satu perempuan. Tapi impian kami pupus begitu saja karena Janina yang meninggal lebih dulu."

"Apa Anda ingin mewujudkan dua anak lagi, Yang Mulia?"

Athes memandang lekat-lekat pada Dandelion seolah meminta penjelasan yang tepat atas perkataannya barusan.

Dandelion menunduk malu, "Aku ingin mewujudkan keinginan kalian."

Dagu Dandelion diangkat, mukanya merona hebat. Athes tertawa melihat ekspresi Dandelion yang seperti itu. "Yang Mulia, jangan menertawaiku. Aku sangat malu." Dandelion menunduk lagi tapi sedetik kemudian ia harus terpaksa mendongak karena Athes tiba-tiba menciumnya begitu dalam dan lembut.

Dandelion membalas lumatan Athes dan mengalungkan tangannya keleher. Disela-sela ciuman mereka, Athes tersenyum. Tangannya bergerak melepas semua yang dikenakan Dandelion. Lalu ia menggendong Dandelion dan menaruhnya hati-hati diatas ranjang. Athes naik dan memposisikan diri diatas. Bibirnya kembali mengecup dimulai dari kening, mata, hidung dan terakhir bibir Dandelion.

Mundur sejenak, Athes melepas pakaiannya sendiri. Ia tertawa kecil karena Dandelion menutup mata dengan kedua tangan. Segera saja Athes menangkup tangannya dan diarahkan keatas. Sedangkan tangan satunya yang lain menjamah tubuh Dandelion.

Diberi kesempatan oleh Dandelion, tentu tak akan dilewatkan Athes begitu saja. Ia malah senang.

Desahan pelan Dandelion membuat Athes kian bersemangat. Bibirnya turun menyusuri leher jenjang si gadis. Tangan yang semula bermain diarea dada itu pun berlabuh kebagian bawah dan membuat Dandelion sedikit memekik perih dan kaget.

"Yang Mulia!"

"Ssst, ini belum seberapa sayang." Athes naik membungkam bibir Dandelion kembali. Ia tahu ini pengalaman pertama Dandelion, dia akan bermain secara lembut agar tak menyakiti gadis itu.

"Mmhp Yang- Mu-li-ahhhh. Mmmp."

"YANG MULIA! SAKIT!"

Ranjang bergoyang hebat disana. Erdhal yang masih diruangan itu hanya bisa diam memejamkan mata dan berusaha menulikan pendengaran yang sialnya tidak bisa. Harusnya ia tidak kesini tadi. Erangan dan desahan jahanam dari kedua orang itu, sungguh membuat Erdhal yang masih polos ingin segera memukul keduanya.

"Aah. Yang Mu-li-ahhh. Aah."

Erdhal benar-benar tidak bisa menjaga kedua telinga sucinya. Mukanya sendiri sudah merah tak karuan.

Kelanjutannya kalian bayangin sendiri ya. Author gamau nambah-nambahin dosa. Hihi.

DANDELION (TAMAT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang