14. Tersesat

3.8K 500 31
                                    

Suara burung menyelisik masuk ke pendengaran Dandelion hingga ia tersadar. Samar-samar netra coklat tersebut melihat sekelilingnya yang dipenuhi bebatuan dan rimbunan tumbuhan liar.

Dandelion coba bangun namun kakinya terasa sakit. Rasa pusing menyerang. Si gadis berusaha mengingat apa yang terjadi. Kepingan memori masuk satu persatu. Kemarin ia tergelincir mengakibatkannya jatuh ke jurang dan ikut menyeret Athes dalam kecelakaan itu.

Athes.

Dimana dia?

Saat bangkit kembali, sakit yang dirasa — jauh dua kali lipat. Dandelion meringis perih. Belum lagi dengan luka disekujur badannya. Namun, walau begitu, Dandelion meyakinkan dirinya kalau ia bisa bertahan.

Menengadah kepala keatas, Dandelion sempat terkesiap karena jarak jurang yang lumayan tinggi. Bagaimana caranya agar ia bisa kembali keatas? Sedetik kemudian, matanya menyapu pandangan keseluruh hutan.

Disana.

Tubuh Athes terkulai lemah didekat bebatuan besar. Kondisi lelaki itu jauh lebih parah jika dibandingkan Dandelion. Tertatih, Dandelion menyeret kaki dan mendekati Athes. Ada ranting yang tertancap dilengan si pria. Mengulurkan tangan, ia langsung mencabut kuat sampai membangunkan Athes.

Belum sepenuhnya sadar, mata Athes sayup-sayup menangkap siluet seseorang. Baru saja ingin membuka suara namun pening yang melanda membuatnya harus pingsan lagi.

"Yang Mulia! Yang Mulia!" Teriak Dandelion panik. Secepat mungkin ia meletakkan kepala didada Athes — guna memeriksa detak jantung sang Raja.

Masih hidup.

Mencoba tenang, Dandelion memapah tubuh Athes agar mereka ke tempat yang lebih aman karena hari mulai gelap. Hewan buas dan liar tentu saja lebih aktif dimalam hari, ia harus bergegas agar mereka tidak menjadi mangsa.

Beban yang Dandelion pikul, rupanya tak main-main. Meskipun handal dalam bela diri dan sering ikut perang, tak serta merta memudahkan Dandelion dengan keadaan kakinya yang terluka. Badan Athes jauh lebih besar dan berat, ia sedikit kewalahan.

Ketika melewati sebuah jalur, Dandelion tak sengaja menyenggol batu dan ambruk bersama Athes. Ia menjerit pilu lantaran cidera kakinya semakin buruk.

Lagi, Dandelion melakukan hal yang sama seperti tadi. Kembali menyangga tubuh Athes dipundak, Dandelion terus melangkah tanpa menghiraukan darah yang mengucur dari kakinya.

Akhirnya, ada sebuah gua yang cukup besar. Buru-buru Dandelion membopong Athes kesana dan membaringkan si pria perlahan. Mengatur napas agar kembali normal, Dandelion menepi ke dinding gua dan melihat kondisi kaki kirinya. Gadis itu baru sadar jika ada darah disana.

Selang beberapa lama, ia mendekat ke Athes dan meneliti wajah si pria. Pucat seperti mayat. Merobek kain baju, Dandelion langsung melilit lengan Athes — bekas tusukan ranting agar membaik. Wajah Athes diseka dan surai pirangnya dirapihkan agar tak menyentuh luka dimuka Athes — yang mungkin saja bisa lebih sakit.

Menghela napas, mata Dandelion menoleh ke dalam hutan yang sudah gelap gulita diiringi berbagai suara hewan. Hah, untunglah ia berhasil mengevakuasi diri.

Jari Dandelion meraba kepermukaan tanah. Ada beberapa batu kering dan ranting-ranting yang ia temukan. Dengan pengalaman berkelananya bertahun-tahun, tercetus sebuah ide. Berbekal batu dan ranting tadi, Dandelion menyusun benda-benda itu berbentuk piramid. Dua batu diambil dan kemudian digosok kuat hingga percikan api keluar dan menyambar ranting. Cahaya api segera menerangi gua.

Kembali lagi pada Athes. Dandelion berpikir, mungkin jika ia tidak menolong pria ini tadi, bisa dipastikan Athes tak selamat. Kedua pasang mata itu menatap dalam wajah rupawan Athes yang seperti malaikat saat tidur. Dandelion sendiri bingung, kenapa ia harus bersusah payah menyelamatkannya?

DANDELION (TAMAT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang