42. Pembicaraan Antar Saudara

3.6K 450 39
                                    

"Ayah ada di Altair?"

Rah mengangguk menjawab pertanyaan Erdhal. Wanita paruh baya tersebut sedang sibuk dengan pengobatan jari sang Pangeran. Ini pertama kalinya bagi keturunan Marksient cacat secara fisik. Mereka yang terkenal sempurna akan perawakannya, dihancurkan oleh Erdhal sebagai orang pertama dalam sejarah.

"Apa yang tua bangka itu lakukan disini? Bukankah dia lebih senang hidup tanpa gangguan kami?" Erdhal mendecih dan geram bersamaan. Bayangan penyiksaan yang diterima Ibunya-Dandelion terlintas kembali.

"Kau tau jelas untuk jawabannya, Pangeran."

Erdhal mendesah pelan. Kematian ibu kandungnya memang menyakitkan. Semua bukti mengarah pada Dandelion. Tidak heran jika Ayahnya mengincar Dandelion sampai kesini. Apalagi dirinya yang berpura-pura terbunuh. Makin menambah kesalahan tak berdasar pada gadis tersebut. Tapi tetap saja, jika mengingat hal-hal yang menimpa Dandelion, entah kenapa ia langsung dongkol.

"Apa yang terjadi saat Ayah menemukan Ibu dan tau dia adalah seorang Tuan Putri?"

Rah terus fokus pada kegiatannya. Sekarang adalah langkah terakhir yaitu membalut perban pada jari Erdhal. "Kemungkinan kecurigaan Yang Mulia hilang. Aku masih belum terlalu tau bagaimana kondisi didalam istana. Yang jelas, ku pikir tidak akan mudah."

Menaikkan sebelah alis, Erdhal mengajukan pertanyaan lagi. "Kenapa?"

"Putri Dandelion adalah putri dari mantan kekasih Yang Mulia."

Mata Erdhal melebar tak percaya dan sedikit bingung?

"Ratu Altair, Ratu Thanasa, dia adalah mantan kekasih Yang Mulia, Ibu dari Tuan Putri Dandelion. Jauh sebelum bertemu Ratu Janina, mereka telah lebih dulu menjalin hubungan."

Selesai melilitkan kain putih ke jari Erdhal, kini Rah mengeratkannya.

"Tapi hubungan keduanya harus berakhir karena posisi Yang Mulia saat itu belum naik tahta dan hanya Pangeran yang memiliki waris penerus diurutan terakhir."

"Memangnya kenapa kalau diurutan terakhir? Dan kenapa mereka tidak melanjutkan hubungan hanya karena Ayah belum naik tahta?" Mata hijau lautan itu berpindah pada perban yang selesai dipasang. Rah mulai membereskan segala peralatannya.

"Mendiang Ayah dari Ratu Thanasa tidak merestui hubungan mereka. Ayah Ratu Thanasa hanya menginginkan seorang penerus Kerajaan atau seorang Raja untuk menikahi putrinya. Jadi mereka harus terpaksa memutuskan hubungan."

Erdhal mendecak tak senang. "Apa pentingnya sebuah kekuasaan dan status. Kenapa banyak orang yang tergila-gila akan hal itu? Menyebalkan."

"Kekuasaan itu sangat penting, Pangeran. Banyak hal yang bisa kau dapatkan karena punya kekuasaan. Sama sepertimu, jika Pangeran Aiden yang naik tahta, kau pikir apa yang akan dilakukan Ratu Serafin? Apakah dia akan membiarkanmu hidup enak di istana?"

"Dia pasti akan mengusirku agar tidak ada pengganggu."

Bibir Rah melengkung keatas. Ia senang karena Erdhal mulai memahami situasinya.

"Jadi, setelah hubungan Ratu Thanasa dan Yang Mulia berakhir, Ratu Thanasa menikah dengan Raja Altair. Mereka memiliki seorang Putri. Dan ya, kau tau kan siapa orangnya?"

Erdhal membuang napas panjang. "Kau sudah tau hal ini sejak awal?"

"Hm, awalnya aku berniat membantu Putri Dandelion untuk kembali ke negrinya, tapi dia mengambil langkah yang salah dengan menjadi dayang Yang Mulia."

"Aku tidak mengerti kenapa gadis cantik dan baik seperti Ibu bisa menyukai Ayahku. Memangnya apa hebatnya pria itu?"

Rah tertawa kecil mendengar omongan Erdhal. Anak itu selalu melontarkan ketidaksukaannya pada Athes secara terang-terangan. Ia bahkan tidak ragu untuk membeberkan semua keburukan Ayahnya.

DANDELION (TAMAT) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang