Menjentikan jarinya, Araxi menatap Valent dengan mata melotot. "Bener, kan? Secara... dia itu yang gue tau, benci banget sama anaknya sendiri, sampe hampir mau ngebunuh."
"Tapi bisa aja, kan. Dia udah berubah terus sekarang malah jadi sayang sama Agatha," balas Valent.
Araxi memangutkan bibirnya. "Bisa jadi, sih. Kalo diliat dia juga seorang ibu, tapi... tetep aja gue masih ragu."
Mengembuskan napasnya, Valent mengangguk pelan. "Ya, semoga aja ini cuma keraguan kita doang, semoga... Vanya emang bener-bener sayang sama Agatha."
"Semoga," cicit Araxi.
Tadi Vanda mau bilang apa, ya ke aunty Valent? Kok, Vanda jadi lupa gini. Malah lama banget lagi lupanya, dari pulang sekolah sampe sekarang, batin Vanda.
"Bye the way, lo tadi ada urusan apa, sih?" tanya Valent memecahkan keheningan yang sempat terjadi di beberapa menit yang lalu.
Araxi mencelupkan biskuit roma ke dalam cokelat panas dan memakannya. "Tadi... gue nyariin Dicky."
Vanda menggeleng pelan. "Oh, jelas ikutan dong. Vanda, kan tau kalo kakak udah putus sama kak Dicky."
Araxi memitarkan bola matanya, dia beralih menatap Valent. "Lo juga, kenapa kaget gitu?"
Dengan tampang polosnya Valent menjawab. "Jawaban gue sama kayak Vanda."
Mengembuskan napasnya pelan. "Iya, gue emang sebenernya udah putus sama Dicky, tapi ternyata... putusnya kita itu malah jadi bencana buat dia. Lo tau? Pak Heazel mecat dia dari kantor, semua aset ditarik, bahkan sampe kartu semua di-blockir. Parahnya... tante Siska nggak mau nerima dia tinggal di rumahnya."