VII

1.2K 210 4
                                    

Hari Minggu adalah hari yang selalu ditunggu oleh Rose. Karena hanya pada hari itu Rose bisa bangun siang dan bermalasan sepanjang hari di dalam kamarnya.

Rose mencoba membuka kedua matanya ketika sinar terang langsung menembus lipatan matanya yang masih tertutup. Rose mencoba mengangkat selimutnya hingga kepala untuk menghalangi sinar menuju matanya. Namun ia tak bisa melakukan hal itu, karena selimutnya yang terasa berat untuk diangkat. Rose merasa seperti ada yang sedang menahan selimutnya hingga ia tak bisa menarik selimut hingga kepalanya.

Rose berdecak, seraya berusaha untuk membuka kedua matanya. Dan tatapan Rose langsung beradu dengan wanita yang sudah berkepala empat, yang saat ini sedang berdiri dihadapannya. Wanita itu membulatkan matanya, Rose rasa matanya mungkin akan lepas dari tempatnya sebentar lagi. Kedua tangan wanita itu sudah bertolak pinggang. Tolong jangan lupakan dengan raut wajahnya yang sudah seperti Mak Lampir.

"Hebat kamu, Rose," ucap wanita itu, Gayatri, dengan ucapan sarkastiknya.

Rose menggosok kedua matanya. Ia baru saja bangun, otaknya masih belum berjalan lancar, dan nyawanya juga belum terkumpul. Rose masih tidak mengerti mengapa Gayatri memarahinya?

"Ini udah hampir jam dua siang, dan kamu masih belum bangun dari pagi," Gayatri memijat pelipisnya perlahan. "Kamu udah kelas tiga, Rose. Sampai kapan kamu mau kaya gini terus? Kamu tuh harusnya udah giat belajar buat masuk kuliah,"

"Emangnya kamu nggak mau kuliah di luar negeri kaya kakak kamu? Mama nggak minta apa-apa kok, mama cuman mau kamu tuh jadi kaya kakak kamu."

Rose mengusap wajahnya. Lagi, dan lagi, ia dibanding-bandingkan dengan Hana. Rose sepertinya sudah muak dengan hal itu semua. Sejak kecil Gayatri tidak pernah bisa menghargai keputusan Rose. Rose sudah dididik agar menjadi Hana yang kedua. Jika Rose memilih jalan yang berbeda dengan Hana, maka Gayatri akan selalu membanding-bandingkan mereka. Rasanya seluruh hidup Rose memang sepenuhnya telah diatur oleh Gayatri, bahkan sebelum Rose sempat memilih.

"Kamu inget nggak Hana waktu kelas tiga? Dia tuh giat belajar sampe pagi. Dia les bimbingan di dua tempat. Nilainya semua bagus, juara kelas. Kamu nggak bisa contoh Hana, Rose? Dia udah jadi kakak yang baik loh buat kamu," ucap Gayatri dengan semua penekanan pada setiap kata yang diucapkannya.

Rose hanya menghela napas. Ia sama sekali tidak tertarik dengan ocehan mamanya di siang hari ini.

"Rose!" tegas Gayatri seraya menyibak selimut Rose. "Kamu dengerin mama nggak sih?"

Rose bangkit dari tidurnya, lalu menatap Gayatri dengan debaran jantung yang sudah berpacu dua kali lipat. Rose berkali-kali menghela napas, mencoba untuk menyiapkan dirinya sendiri.

"Bisa nggak sih sekali aja, mama nggak banding-bandingin aku sama Kak Hana? Aku tahu aku tolol. Bahkan masuk sepuluh besar di kelas aja aku nggak bisa. Tapi tolong hargain Rose, Ma. Rose capek setiap hari dibanding-bandingin," ucap Rose dengan kedua air mata yang sudah berair.

Jantung Rose masih berdegup dengan kencang dan keringat dingin kini sudah mulai membasahi tubuhnya. Jujur saja ia merasa takut mengatakan hal itu, karena ini adalah pengalaman pertamanya melawan kepada Gayatri. Biasanya Rose hanya mengangguk dan mengiyakan seluruh ucapan Gayatri. Tapi kali ini ia sudah muak.

"Mama nggak mau banding-bandingin kamu, Rose. Mama cuman pengin kamu tuh contoh Hana. Dia udah jadi kakak yang baik buat kamu. Kamu tuh harusnya paham maksudnya mama itu apa. Mama cuman mau yang terbaik buat kamu, sayang," ucap Gayatri.

Air mata telah menetes dari mata Rose, dengan cepat ia menghapus air mata itu dengan kasar. Rose kira mamanya akan mengerti ketika Rose mengucapkan kata-kata itu. Tapi ternyata tidak.

ENEMYWhere stories live. Discover now