XIV

1.2K 179 2
                                    

Rose terus menangis sejak tadi. Ia percaya bahwa semua kejadian yang menimpa Jay adalah kesalahannya. Dan ia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.

Rose terus berpikir andai ia lebih berani melawan Satya dan kawanannya. Andai ia berteriak meminta tolong agar Satya dan kawanannya bisa langsung pergi. Andai ia tidak pergi ke mall hanya untuk membeli liptint favoritnya yang sedang diskon. Andai... andai... andai...

Seluruhnya penuh dengan keandaian yang malah membuat hatinya semakin sesak. Ia merasa tidak enak hati kepada Jay dan pikirannya juga terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Katanya suara hati dan pikiran akan selalu berbeda pendapat, tapi nyatanya tidak. Karena saat ini keduanya kompak mencaci maki diri Rose.

Suara langkah kaki yang terburu-buru semakin terdengar oleh Rose. Rose mencoba untuk menengadahkan kepalanya untuk melihat orang tersebut. Dan hatinya semakin merasa sesak ketika melihat orang tersebut, Via dan Jeffrey, orang tua Jay.

Rose bisa melihat rasa kekhawatiran yang bercampur ketakutan dimata kedua orang tersebut. Lalu detik berikutnya mata Rose bertubrukan dengan Via. Via langsung berjalan menghampiri Rose yang sedang duduk di ruang tunggu UGD rumah sakit.

Via menggenggam kedua tangan Rose. "Jadi Jay gimana, Rose? Dia nggak papa kan?"

Rose tak bisa menjawab. Mulutnya seolah telah ditutup oleh lem yang rapat. Bahkan menatap mata Via pun Rose tak bisa. Ia akan merasa sangat bersalah bila menatap kedua mata coklat yang penuh dengan kekhawatiran tersebut.

"Dokter masih belum keluar, Tante," jawab Winwin yang duduk disebelah Rose.

Via hanya mengangguk tetapi matanya masih terus melirik kekiri dan kekanan. Lalu mulai mengendurkan genggamannya pada Rose dan memilih untuk menggenggam tangan suaminya yang duduk disebelah kirinya.

Rose berdiri dari duduknya dengan air mata yang terus-menerus keluar. Ia tak bisa duduk didekat Via, rasa bersalahnya akan semakin terasa dan hal itu malah akan membuat hatinya semakin sesak.

"Rose permisi sebentar, Tante," ucap Rose seraya menunduk didepan Via, lalu berlari pergi meninggalkan ruang UGD.

Rose terus berlari hingga ia keluar dari ruang UGD, lalu memilih berjalan menuju taman rumah sakit yang tidak terlalu berada jauh dari tempatnya saat ini.

Kemudian Rose memilih duduk pada bangku taman berwarna putih yang sedang kosong. Wajahnya menunduk dan kedua tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya yang sedang menangis tersedu-sedu. Pundaknya naik-turun seirama dengan suara yang mampu membuat pendengarnya mengilu sedih.

Rose menengadahkan kepalanya ketika ia merasa ada seseorang yang duduk disebelahnya. Rose mencoba menghapus sisa air matanya dengan tangan agar ia bisa melihat dengan jelas, tidak bias karena adanya tumpukan air mata dikelopak matanya. Dan orang itu adalah Winwin dengan dua gelas hot chocalate yang sudah berada ditangan pemuda itu.

"Ini," Winwin memberikan segelas hot chocolate yang berada di tangan kananya pada Rose. "Siapa tahu bisa bantu buat nenangin lu."

Rose menerima gelas tersebut. Ia mencoba mengatur napasnya. Dan ia juga sangat berusaha untuk tidak menangis lagi.

"Semuanya salah gua, Win," ucap Rose seraya mata yang menatap kosong pada langit malam yang gelap.

"Semuanya salah Satya dan kawanannya. Bukan salah lu," ucap Winwin, lalu meneguk hot chocalate yang berada digenggamannya.

Rose menggeleng, seolah tidak setuju dengan ucapan Winwin. "Kalo seandainya gua bisa lebih berani buat melawan atau seenggaknya gua bisa teriak minta tolong ke satpam semuanya nggak akan kaya gini."

ENEMYWhere stories live. Discover now