13-GELISAH

228 205 77
                                    

Setelah telah Eki mengantarku pulang tadi, dia lngsung pergi bergegas dengan motornya. Dan entah kenapa, perasaanku terasa tak enak sedari Eki mengatakan kalau temannya di kroyok tadi, aku terus memikirkan nya, hatiku cemas, Perasaan apa ini? Kenapa aku tak bisa berhenti memikirkannya.

Aku tak henti-henti nya memikirkan Eki, sudah berkali-kali aku mengubah posisi tidurku berharap kantuk kembali datang menyerangku, namun nihil. Hatiku makin terasa tak tenang.

"Ya Tuhan, perasaan apa ini? kenapa aku terus memikirkan nya," ucapku lirih sambil menatap langit-langit kamar.

Aku bangkit memilih keluar menuju balkon, sekedar menenangkan pikiranku yang terus di penuhi oleh Eki.

*****

Pagi ini dengan jalan yang sedikit tergesa-gesa, aku melangkah mulai memasuki kelas yang nampak ramai oleh teman sekelas ku yang sudah berdatangan, akibat tadi malam aku hampir tak bisa tidur, membuatku sedikit terlambat datang ke sekolah. Untung saja pak Suripto satpam sekolahku mengizinkan ku untuk masuk.

Terlihat bangku disebelahku masih kosong, mungkin Angga belum brangkat. Aku memilih duduk dibangku ku mengingat sebentar lagi bel pelajaran pertama akan segera dimulai.

Tak berselang lama, Angga datang dengan napas yang memburu, terlihat matanya menyorot liar mencari keberadaanku, dia bergegas menuju ke arahku setelah mengetahui aku yang tengah berada dikursiku.

"Ra, lo ngga papakan? lo ngga di apa-apain sama si brandal tengik itu kan?" tanya Angga cepat.

Aku yang sedikit mengantuk mengeryitkan kening bingung, berandal? Siapa yang dia maksud. "Berandal?" tanyaku.

"Iya, lo semalem pulang bareng dia kan?" tanya Angga cepat.

Keningku mengernyit, apa Eki yang dia maksud. "Maksud lo Eki?" tanyaku memastikan.

"Iya, si brengsek Eki!" jawab Angga dengan menaikan satu volume suaranya, yang membuat beberapa anak lain sontak menoleh ke arah kami.

Aku juga sedikit terkejut mendengarnya, kenapa Angga berucap seperti itu, entah kenapa ada sedikit rasa tak terima dihatiku, pasalnya sejauh yang aku kenal, Eki itu orang baik.

"Kok lo ngomongnya gitu si Ngga?" tanyaku sinis, entah karena apa aku merasa kesal mendengarnya.

"Lo kenal Eki?" tanya Angga.

"Iya. Dia yang udah nolongin gue pas di halte kemarin. " jawabku apa adanya.

"Halte?"

"Hm, waktu itu gue dihadang preman."

"Tapi lo sekarang ngga papa kan? dia ngga ngapa-ngapain lo kan?" tanya Angga lagi.

"Iya, gue ngga papa. Eki yang tadi malem nganterin gue pulang." jawabku sedikit kesal, mengingat kejadian semalam yang menimpaku, beruntung saja aku bertemu dengan Eki, bukan dengan preman ataupun orang jahat disana.

"Syukurlah, padahal udah gue gebukin tadi malem. " ucap Angga lirih, yang masih bisaku dengar.

"Gebukin? Siapa yang lo gebukin?" tanyaku, perasanku tiba-tiba kembali merasa tak enak.

"Nih hp lo. " saut Angga menyerahkan handphone dan tas selempang yang semalam tertinggal olehku.

"Siapa yang lo gebukin Ngga?" tanyaku sekali lagi, mengabaikan ucapan Angga tadi.

"Eki, tadi malem pas gue sama anak-anak mau ke rumah lo, di jalan kita ketemu dia." jawabnya dengan raut tak bersalahnya.

"Eki? lo gebukin?" tanyaku lagi mencoba memastikan.

"Iya, patah tangan tuh anak kayaknya" jawab nya santai tanpa dosa.

Aku melebarkan kelopak mataku, Astaga. Patah tangan? apa-apaan Angga ini, mendadak rasa kantuk dan pusing yang sedari tadi melandaku kini lenyap, digantikan dengan perasaan khawatir yang berlebih, entah ada apa denganku, aku sendiri pun merasa heran dengan perasaanku ini, tak biasanya aku memikirkan seseorang yang baru aku kenal dihidupku.

"Lo apain dia Ngga? dia ngga salah ya. Dia udah baik nganterin gue pulang, kenapa lo gebukin!" ucapku tanpa sadar meninggikan suara.

Angga menoleh "Lo kok ngotot Ra?" tanyanya.

Aku menghela napas, tak habis fikir dengan pemikiran Angga. "Dia patah tulang?" tanyaku mencoba untuk tetap tenang.

Angga mengangkat bahunya acuh "Mungkin."

Aku mimijat pelipisku, Eki tak salah, kenapa dia yang harus menjadi korban, tanpa diduga terlintas ide gila diotakku.

"Ngga?" tanyaku yang dibalas deheman singkat olehnya.

"Pulang sekolah, lo anterin gue ke kostnya." ucapku dengan serius.

Angga yang sedang memainkan ponselnya, sontak langsung menoleh ke arahku. "Gila lo Ra, mau ngapain?" tanyanya dengan raut kaget.

Aku menghela napas pelan, "Dia patah tulang karena gue, jadi gue harus tanggung jawab Ngga."

Angga berdecak. "Gue saranin ya Ra, mending lo jauhin tu bocah, dia tuh cowok ngga bener. Geng motor, berandalan. " 

"Kok lo tau?" tanyaku dengan rasa penasaran yang cukup besar.

"Karena dia itu, musuh gue."

*****

Aku turun dari motor besar Angga, setelah aku pikir matang-matang, tak apalah aku menjenguknya, toh masalah ini gara-gara aku juga. Dan tentu saja setelah melewati perdebatan sengit antara aku dan Angga yang melarang ku datang kesini.

Sekarang di depanku berdiri bangunan tinggi berlantai dua dengan cat warna hijau yang terlihat mendominasi, terdapat poster besar bertuliskan Kost umum putra/putri, ada sekitar tiga puluh pintu kayu yang terpasang saling berhadapan-hadapan.

"Lo yakin Ra?" tanya Angga yang kesekian kalinya.

"Iya, gue harus jenguk Eki, kalo ngga perasaan gue ngga bakal bisa tenang." sautku merasa yakin dengan keputusanku.

ARATA GEOCCANDRA Where stories live. Discover now