Kilas Balik

1.2K 96 3
                                    

Langit begitu gelap
Hujan tak juga reda
Ku harus menyaksikan, cintaku terenggut tak terselamatkan.

-Tanpa kekasihku, Agnes Monica-

••••>•<••••

12 Oktober kembali terulang, lagi-lagi seperti ini, rasa sakit yang tak kunjung usai serta penderitaan seperti tidak ada akhir masih bersama ku. Tahun ketiga dimana aku merasa kehidupan sudah tidak lagi indah seperti sebelumnya. Banyak warna yang direnggut oleh pekatnya hitam. Rasa sesak ini tidak pernah hilang, sekalipun diterpa oleh oksigen paling bersih yang ada di bumi.

Langit hari ini mendung, dibawahnya aku tersimpuh dengan penglihatan buram, menahannya agar bentuk kesedihan ini tidak jatuh mengenai tempatmu terbaring. Udaranya semakin dingin, angin seperti marah akan sesuatu. Ia bertiup terlalu kencang sekarang. Mungkin aku diharuskan untuk segera pergi, padahal sedikit lebih lama lagi disini adalah hal yang menyenangkan, walaupun aku tidak pernah tersenyum. Sekalipun menyenangkan, tapi sesak itu selalu datang.

Malam ini, harusnya kue ulang tahun beserta lilin berbentuk angka 23 berada di hadapanku, memberi banyak doa serta berbahagia atas bertambahnya usiamu. Tapi kali ini aku sukar untuk melakukannya. Membiarkan sepi dan gelap gulita menjadi temanku.

"Selamat ulang tahun"

Hanya itu yang mampu aku ucapkan, rasanya baru kemarin saat dirimu begitu bahagia menyambut usia dua puluh tahun. Memelukku dengan diiringi kecupan ringan, ditambah gombalan-gombalan memabukkanmu.

Katamu, aku tidak perlu lagi banyak menangis, cukup tertawa saja dengan segala lelucon yang kamu buat.

Katamu, aku tidak perlu lagi merasa hancur. Karena kepingan-kepingan bahagia dalam diriku sudah kamu kumpulkan.

Padahal kamu berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkanku, tapi kenapa kamu malah pergi jauh? Ketempat yang tidak bisa aku gapai.

Kamu tau? Satu satunya hal yang paling berarti dalam hidupku adalah kamu. Setelah Tuhan merenggut banyak bahagia dariku dan menggantinya dengan berjuta kesedihan, lalu kamu datang memberi kembali kebahagiaan yang sempat hilang. Aku sangat bersyukur untuk itu, tapi lagi-lagi Tuhan merenggut kebahagiaanku.

Untuk hari ini saja, dimalam genapnya usiamu menginjak dua puluh tiga tahun. Bolehkah aku egois dengan memintamu untuk pulang? Memberiku pelukan hangat, kecupan ringan serta gombalan-gombalan yang selalu akun rindukan, tidak, bukan hanya itu. Aku merindukan segala hal tentangmu. Tuhan, tolong kabulkan keinginanku. Tapi nyatanya, sebanyak apapun aku meminta, dirimu tetap tidak pernah pulang.

"Aku rindu"

Air mata yang aku tahan sejak tadi pagi, akhirnya pecah juga malam ini. Hari ini, rasanya aku benar-benar ingin mati, tapi aku takut jika disana kita tidak bisa bertemu. Aku takut, Tuhan hanya membiarkan aku melihatmu disini, ditempat yang aku pijaki. Karena sekali lagi, Tuhan sangat jahat kepadaku.

"Kamu tau Heel? Bagian dari gitar, dia adalah kayu kecil yang digunakan untuk menghubungkan neck dan body pada gitar. Walapun memiliki bentuk yang berbeda-beda, tapi dia selalu memberikan kesan estetika serta banyak menentukan kualitas suara. Sama seperti gitar itu sendiri, bagian kecil yang berhasil menghubungkan kita. Bagaimana dia menjadi saksi bisu atas lagu-lagu yang selalu aku nyanyikan untuk kamu. Sama seperti setiap petikan pada senar yang menghasilkan suara berbeda, kadang sumbang dan kadang juga merdu, asal kamu tau itulah kehidupan, ada bahagia juga kesedihan. Tapi kamu tenang aja, karena kamu memiliki aku "

Hari itu, tepatnya empat tahun lalu. Kamu menjelaskan apa itu Heel, memberiku ketenangan dengan mengatakan hal-hal manis. Kamu memang milikku, tapi Tuhan lebih berkuasa dibandingkan aku, sampai-sampai ia mengambil mu. Merampas seenaknya, tanpa menunggu aku siap. Walapun aku tau, sampai kapanpun aku tidak akan pernah siap untuk kehilangan kamu.

Sakya, jelaskan padaku bagaimana aku bisa melupa? Jika semua yang aku lalui dengan kamu adalah hal-hal menyenangkan. Bagaimana aku bisa tenang? Saat satu-satunya pelindung ku pergi? Sak, aku mohon pulang.

Aku mohon,.... Sak, pulang!!

••••>•<••••

Pukul delapan pagi, langitnya cerah. Suasana hari ini benar-benar sangat nikmat untuk diajak kompromi masalah kehidupan. Tapi, lagi-lagi hal itu tidak berguna bagiku. Mau secerah apapun langit di bumi ini, hatiku tetap pekat oleh kegelapan.

Selesai mandi dan berdandan sederhana untuk bekerja, aku berangkat dengan langkah berat. Jika bukan demi isi perut, sebenarnya aku malas untuk keluar rumah. Jalanan hari ini sangat lenggang, membuat laju busway yang aku naiki berjalan dengan cepat, tanpa repot-repot menunggu pengendara motor yang bebal, seenaknya menggunakan jalurnya. seperti semesta tahu, kalau aku butuh ketenangan. Penumpang disini sangat tenang, tidak seperti sebelum-sebelumnya, berisik!.

Penglihatanku terpaku pada seorang pemuda dengan tas gitar dipundak nya. Berdiri tenang, karena sudah tidak ada lagi tempat duduk. Disisinya seorang gadis Bergelayut manja memeluk tangan kiri sang pemuda. Lagi-lagi aku teringat kamu.

"Kamu gendong tas gitarnya ya, biar kamu bisa peluk aku secara langsung. Nggak kehalang gitar hehe"

Terbayang saat kamu menjemputku dari tempat kerja, mengendarai sepeda motor serta membawa gitar dipundakmu. "Aku masuk ada latihan ngeband di kampus" Katamu waktu itu. Laki-laki pengertian yang tanpa ditanya selalu memberitahu terlebih dahulu.

"Kamu yakin nggak mau lanjut kuliah? Masalah biaya, aku masih sanggup buat biayain kamu"

"Sakya, terimakasih. Tapi aku nggak mau terus-terusan ngerepotin kamu. Toh aku juga nggak terlalu minat buat lanjut"

"Tapi Nay--

" Kamu malu punya pacar yang bukan sarjana?"

"Ya nggak lah, kamu itu bagai bunga di gurun pasir, kayak nggak mungkin, tapi nyata! . Cuman ada satu dan aku beruntung nemuin kamu. Jadi jangan pernah nganggep kalo aku cuman main-main sama kamu, aku emang nggak bisa ambil kamu dari Tuhan kamu, tapi kalo ada kesempatan pasti kita bisa sama-sama selamnya "

Tinttttt tinttttt

Banyak kelakson mobil yang dibunyikan, membuyarkan lamunanku tentang hari itu. "Aku yang sangat bersyukur bisa memilikimu" Perjalanan terasa singkat, aku sudah sampai di tempatku bekerja. Bukan pekerjaan mewah, hanya karyawan sebuah toko perlengkapan bayi.

Untuk sampai aku harus menyebrang terlebih dahulu, menunggu dengan tenang sampai lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Tanpa menelisik sana sini sekedar untuk cuci mata, tapi didunia ini sudah tidak ada yang menyenangkan.

Dunia yang selalu orang-orang agungkan, nyatanya hanya sampah bagiku. Pakaian mewah, Jalan-jalan, makanan lezat? Aku tidak punya waktu untuk melakukan semua itu. Aku selalu bertanya-tanya, kapan Tuhan mengambil nyawaku? Setelah memberikan kehidupan pahit padaku, ia seakan tidak sudi untuk memberi sedikit saja kebahagiaan.

Lampu lalu lintas sudah berubah warna, disaat aku melangkah tiba-tiba seorang pengendara motor yang tidak tahan aturan begitu saja melintas tanpa merasa bersalah sedikitpun. Tepat dihadapanku, tapi lagi-lagi Tuhan seperti enggan untuk mengambil nyawaku. Padahal aku yakin, jika tertabrak mungkin aku tidak bisa terselamatkan.

"Kamu jangan pernah membenci Tuhan, karena tidak ada seorangpun yang sanggup menyayangimu lebih dari Tuhan, sekalipun dibandingkan dengan aku"

Senyum getir kini tercetak jelas di wajahku, rasanya aku ingin tertawa sejadi-jadinya dan mengatakan. Dimana letak sayang itu? Apa Tuhan hanya menyayangiku saat aku menderita? Karena dari itu ia selalu memberiku hal-hal yang menyakitkan?.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Heel | Mark Lee ✔Where stories live. Discover now