Lenyap Ditelan Awan

101 26 1
                                    

Tutup usia, titip rasa.
Sakitnya dibawa, bahagianya di suguhkan.
Nayaka, Sakya nya pulang lebih awal.
.
.
.
.
••••>•<••••


Bangsal rumah sakit menjadi saksi betapa letihnya seorang Sakya berbaring, menumpahkan tubuh lunglai nya untuk terkahir kali. Menyisakan lolongan orang-orang yang menyaksikan, menangis haru dengan aura kehilangan yang dalam.

Beberapa jam telah berlalu, akhirnya tubuh itu dipulangkan ke rumah yang sejatinya saksi Sakya tumbuh. Menunggu fajar untuk dikebumikan.

Beberapa kerabat sudah berdatangan, membawa duka mereka masing-masing untuk ditumpahkan bersama. Diantarnya melantunkan ayak suci, mengaji Yasin supaya Sakya merasa ditemani, Helmy dan Nayaka salah satunya.

Diluar sana, Lukas terdiam masih tidak percaya dengan berita yang didapatinya beberapa menit lalu. Lukas semakin tidak mau percaya saat rumah kawannya benar-benar diisi oleh tangisan. Simfoni menyesakan untuk menghibur hati-hati nelangsa atas kehilangan.

Lukas, juga sama—𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘪𝘴. Tubuh tegap berisi bukan tompangan kokoh untuk mengindari rasa sakitnya ditinggalkan, jauh didalam sana ada yang namanya hati, organ paling rapuh saat merasa kehilangan.

"𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯, 𝘪𝘯𝘪 𝘤𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪 𝘬𝘢𝘯?" Monolognya untuk kesekian kali, Lukas baru beberapa hari lalu mendapati fakta bahwa Sakya merasa bahagia, berkaji Ilmu baru untuk tumpangan hidupnya. Tapi sekarang, ia berpulang—𝘣𝘦𝘳𝘱𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘯𝘨𝘬𝘶𝘢𝘯 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 tanpa bisa dinego untuk dikembalikan.

"Sakya, lo keren. Bener kata Bunda lo, kalo putranya Sakya adalah pejuang yang hebat." Sebuah kalimat Lukas untaikan, diiringi do'a baik dalam hati yang menjadi rahasianya dengan Tuhan. 𝘒𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘭𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶.

Langkah beratnya dipaksa melangkah, memasuki rumah yang selalu Sakya agungkan bahwa didalamnya sangat hangat. Barangkali Lukas masih bisa merasakan kehangatannya?

Di ruangan sana, tubuh terbujur kaku diikenakan kain putih, Lukas termenung lagi—ternyata hangatnya sudah tidak ada. Sudah dibilang kan, bahwa cuman tubuhnya saja yang besar, kalau urusan hati sama rapuhnya seperti perempuan. 𝘓𝘶𝘬𝘢𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘪𝘴.

"Bro? Selamat ulang tahun ya. Sorry tadi pagi belum sempet ngucapin, tapi kayaknya gue telat banget ya?"

Lukas berkata lirih saat sudah disamping Sakya, tepukan di bahunya terasa. Helmy sama rapuhnya seperti Lukas, lantas jalan keduanya hanya satu. Yaitu saling menguatkan, menerima fakta bahwa kawan mereka sudah bersama yang kuasa. "Do'a ya, yang baik-baik" Ujar Helmy.

Disisi lain, tubuh lunglai Nayaka bersandar pada dinding yang nyatanya terasa sangat dingin. Menyaksikan bagaimana Lienara menangis haru sembari berpelukan dengan Bunda. Menyaksikan Ayah duduk tegap di samping sang putra. Menyaksikan Sakya menutup mata teramat tenang. Rengkuhan hangat Nayaka rasakan, tubuhnya didekap oleh Sherina. Membagi sedikit tegar walau nyatanya tidak ada sama sekali. Keduanya sudah rapuh.

"Kak, nangis aja jangan ditahan biar sakitnya agak berkurang" Ujar Sherina sembari mengeratkan pelukannya.

Pun dengan Nayaka yang membalas pelukan tersebut, akhirnya menangis tersedu—𝘭𝘢𝘨𝘪. Yang pergi memang sudah seharusnya dilepaskan, tapi nyatanya tidak semudah ucapan, kehilangan tetap saja kehilangan. Sakitnya bukan kepalang, terlebih dia orang yang disayang.

Bayang-bayang tawa Sakya terus ada, melintas begitu saja saat tangis disuarakan. Semakin menelan pahit karena kenangan ternyata bisa menusuk tajam seperti ini. Nayaka tidak mau begini, tidak pernah mau seperti ini. Namun sekali lagi takdir Tuhan tidak bisa ditawar.

Heel | Mark Lee ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang