life still going on

403 65 2
                                    

"Hidup menang tidak selamanya berjalan baik, tapi kita sama-sama punya Tuhan yang mampu menyelesaikan segala perkara"

-Sakya kepada Naya-

••••>•<••••

Nyatanya setelah kepergian mu, hidup ku masih berlanjut. Dunia yang sudah terlanjur menjadi sampah ini, masih enggan untuk mengkebumikan ku. Atau lagi-lagi ini ulah Tuhan? Membiarkan aku sengsara didalam skenarionya?

Langkahku terhenti, menatap kosong pada langit sore hari ini. "Curang!" Gumanku, disaat hatiku carut marut , tapi langit masih bisa tersenyum cerah. Awan-awan menyingkir, menyisakan warna biru muda yang teramat terang. Angin pun ikut menyahuti, ia bertiup sangat lembut. Menerpa wajah serta rambut yang aku biarkan terurai. Alih-alih merasa tenang, aku malah merasa sesak. Harusnya, suasana seperti ini aku lalui bersama dia.

Takut akan menangis lagi, sesegera mungkin aku melanjutkan perjalanan. Sebelum benar-benar memasuki gapura daerah kost, mataku menangkap sosok anak laki-laki dengan karung besar di pundaknya, karung kecoklatan koyak hampir disetiap sisi, terlihat jelas di dalamnya terdapat kardus serta botol-botol plastik, senyum diwajahnya tidak pudar sama sekali. Alas kaki sudah sangat tipis juga baju yang tidak sepenuhnya menutup pundak anak itu, bukan menjadi penghalang untuk ia terlihat bahagia.

"Tunggu"

Anak laki-laki itu berbalik, mengangkat sebelah alisnya lalu bertanya "saya kak?" Melihat aku mengangguk, sambil tersenyum ia kembali bicara "ada apa kak?". Meletakkan karung serta membetulkan baju yang sempat turun di pundaknya.  Manik matanya menyorot dengan sendu, walaupun lengkungan senyum dibibirnya tercetak tapi mata tidak pernah berbohong. Anak ini, sama sepertiku. Menyimpan banyak luka.

" Ini buat kamu, ada beras, mie instan sama telor"

Tanganku terulur memberikan sembako sederhana yang tadi aku beli, niatnya untuk stok dikost, tapi tidak ada salahnya jika aku berbagi kan?.

Setetes air matanya keluar, lalu tetesan lain ikut menyusul. Anak ini menangis dengan senyum yang jauh lebih lebar. Sebelah tangannya mengusap dengan telaten air matanya, lalu berucap terimakasih dengan suara yang serak. Aku tercekat, padahal hanya makanan sederhana yang aku beri, tapi diterima dengan penuh syukur oleh anak ini. Benar kata Sakya "bagi sebagaian orang hal-hal istimewa adalah sesuatu yang kita anggap biasa saja"

"Terimakasih kak"

"Sama-sama, maaf kakak cuman kasih ini. Oh iya, rumah kamu dimana?"

"Segini juga udah syukur alhamdulillah, dekat pasar pesing kak, pinggir rel kereta"

"Kakak mau ikut? Aku punya adek yang paling kecil, umur 3 tahun. Lucu loh" Tawarnya dengan antusias.

"Wahhh beneren boleh nih kakak ikut? , emangnya kamu punya adek berapa?"

"Iya bener, ada 3 hehe adek yang paling besar umurnya 7 tahun, yang kedua 5 tahun sama yang bungsu 3 tahun"

"Kamu?"

"Aku sebelas tahun kak"

Sore ini aku habiskan dengan berkunjung kerumah  izal, anak laki-laki yang belum sempat aku tanyai namanya, namun dengan sendirinya memperkenalkan, tidak cuman dia.  Nama adik-adiknya pun ia sebut satu-satu. Zali, Aji dan Naria. Katanya tidak ada nama panjang, "kata ibu, walaupun nama kami sederhana, tapi memiliki arti yang sangat bagus" Ujarnya beberapa menit lalu.

Sempat berhenti di warteg untuk membelikan keluarganya nasi bungkus, aku dan izal kembali melanjutkan perjalanan. Tidak jauh memang, jadi cepat sekali kami sampai ditempat tujuan. Izal berkata ia akan menjual kardus serta botol-botol plastik ini besok saja, sekalian mencari lagi supaya mendapatkan hasil yang lebih besar.

Pemukiman yang baru aku kunjungi hari ini, sungguh bertahun-tahun aku tinggal di kota ini, tapi tidak pernah tahu jika disini ada tempat untuk orang-orang pulang. Jauh dari kata mewah, tapi mereka banyak yang tersenyum. Mengobrol dengan tetangga, bercanda jenaka pada anak-anak, serta hebohnya para bocah laki-laki yang sedang bermain bola.

"Itu rumah aku kak"

Tunjuk izal, disana ada seorang wanita paruh baya yang melambai pada izal. Di pangkuannya anak perempuan duduk dengan manis, tersenyum senang saat izal mendekat.

"Ini adek sama ibu aku kak, yang lainnya lagi main bola"

Setelah berkenalan dan memberikan lima nasi bungkus. Aku duduk diteras rumah bersama Ibu izal. Aku kira dia orang yang tidak ramah, tapi ternyata ia sangat baik. Mengobrol tanpa beban dengan menyuguhkan secangkir teh manis. Memperkenalkan diri dengan lembut serta menceritakan bagaimana brengseknya ayah izal yang meninggalkan mereka dua tahun lalu.

"Hidup memang siapa yang tau, dulu bapak Izal sangat mencintai keluarga kami. Tapi ujung-ujungnya malah tergoda sama perempuan lain, sudah tahu hidup susah malah banyak gaya. Dia pergi, terpaksa izal putus sekolah karena tidak ada lagi yang membantu cari uang. Saya juga susah, punya anak kecil kadang nggak tega kalau ditinggal"

Matanya menatap kedepan, sorot sendunya sangat menyayat hati, terdiam bersamaan dengan datangnya kereta, yang berisik. "Hati saya sakit" Imbuhnya. "Disini, didalam sini setiap hari menjerit" Telapak tangannya menepuk-nepuk dadanya. Pelupuk matanya sudah dipenuhi air mata, tinggal menunggu kapan ia akan terjun bebas keatas pipi tirusnya.

"Saya paham Bu, saya juga jadi korban egoisnya seorang bapak. Seperti kata Ibu tadi, hidup siapa yang tau. Kalau Ibu mau percaya pasti suatu saat nanti Ibu, Izal, zali, Aji sama Naria bakal menemukan titik bahagia"

Senyumnya merekah indah, air matanya sudah tandas ia usap. "Kamu juga percaya kan?" Tanyanya. Aku berpaling, menatap langit yang benar-benar cerah hari ini. Merenung sedikit ragu untuk menjawab. "Mungkin" Gumam ku.

"Sebenarnya itu perkataan seseorang, kalimat penenang yang masih sukar saya percaya. Karena nyatanya sejauh apapun saya melangkah, bahagia itu belum saya temukan. Kadang saya lelah, berulang kali mencoba menyerah. Tapi dia selalu mengingatkan saya, katanya 'kamu juga berhak untuk bahagia, mungkin bukan dicari tapi bahagia itu akan datang dengan sendirinya.' Saya masih penasaran, sejauh mana Tuhan mau mempermainkan saya, karena itu lah saya masih bertahan."

Aku mengakhiri perkataanku dengan kembali menatap Ibu izal. "Naya, Ibu emang nggak pernah tahu beban seperti apa yang kamu pikul. Tapi, Ibu yakin kamu adalah anak yang kuat". Ujarnya sembari mengelus halus bahu kananku.

"Ngomong-ngomong yang kamu maksud dia itu siapa?"

"Kekasih saya" Jawabku tanpa ragu.

"Syukurlah, setidaknya sisi rapuh dari diri kamu, masih ada orang lain yang bersedia membantu menguatkannya. Sekarang dia dimana? Kapan-kapan ajak kesini"

"Dia udah pergi"

Keterkejutan tidak mampu Ibu izal tutupi, tangannya yang semula mengelus bahuku kini berhenti begitu saja. Sorot matanya sarat dengan rasa penasaran.

"Pergi kemana?" Akhirnya ia bertanya.

"Diambil Tuhan"

Aku tersenyum kecut untuk kesekian kalinya. Menatap wajah Ibu Izal yang lagi-lagi terkejut dengan jawabanku. "Udah mau Magrib, saya pamit dulu ya Bu. Kapan-kapan saya kesini lagi". Aku beranjak dari dudukku setelah meneguk habis Teh yang beliau sajikan.

Kepergianku dari tempat ini disaksikan dengan langit Oranye keemasan, menandakan matahari terbenam dengan bahagia. Langkahku berhenti, berbalik sejenak sekedar untuk menatap indahnya senja sore ini. Pikiranku berkelana, mengingat kalau Sakya sangat menyukai senja.

"Sakya, aku rindu"

"Sakya, aku rindu"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Heel | Mark Lee ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang