Bumi pada Porosnya

231 45 0
                                    

Kehidupan berjalan, bumi masih berputar. Layak tidak ada apa-apa. Tapi Nayaka terluka.
.
.
.
.
.
••••>•<••••

Sama seperti setangkai mawar yang mengelap, begitulah Nayaka hidup sekarang. Warna cantiknya memudar, digantikan pekatnya hitam keseluruhan. Sampai bagian terkecil, tidak ada yang terlewat.

Kepada hari yang tak berarti, kepada karsa yang dipaksa. Nayaka berjalan menyusuri dengan langkah gontai. Langit terang benderang, tidak terik tapi hangat. Awannya cantik dan entah kenapa udara pagi dijakarta sedang baik--terasa sejuk.

Sakya nya tidak kembali, padahal tidak banyak yang ia pinta pada Tuhan. Cukup kembalikan saja kekasihnya.

Hari kesepuluh setelah kepergiannya, Nayaka mencoba bangkit walaupun nyatanya tidak bisa. Segala rupa kesedihan ia bungkus pada jiwa paling dalam, membuat rongga yang lebih kentara. Wajah datarnya tidak berharap apa-apa, ia hidup tapi terasa mati.

Gundahnya dirasakan oleh semesta, pelik tiada ujung menjadi saksi atas takdir yang kuasa.

Langkah itu berhenti, mencoba jenaka didepan peristirahatannya. Senyum cerah kini terpampang di wajahnya, namun sorot matanya masih sarat akan sakit. "Hallo, aku datang." Ujarnya paru.

Menyambangi sang kekasih yang membisu. Diusap nya pelan pusara itu, lalu berkata dengan lembut, "sehat kan?"

Semilir angin tiba-tiba datang, seolah menyahut jika Sakya nya baik-baik saja di sana--siapa yang tahu, mungkin saja ini benar kan.

Tangisan kembali menjadi simfoni untuk menemaninya hari ini. Isak tangis itu sangat memilukan bagi siapa saja gerangan yang mendengar.

"Maaf-maaf, aku nggak bisa tegar didepan kamu. Hati aku sakit, sakit sekali sampai-sampai rasanya ingin mati. Tapi aku takut di sana aku nggak bisa ketemu kamu."

Nayaka memuaskan diri untuk melepas segala kesedihan nya disini, sementara saja tidak apa-apa. Sejumput tanah tempat kekasihnya istirahat sudah basah oleh air mata Nayaka. "Aku besok datang lagi ya."

Kalimat penutup untuk hari ini. Nayaka tidak pernah mengucapkan salam perpisahan, karena Sakya nya ada, hidup di bagian paling dalam hatinya. Jika raga Sakya meninggalkannya tapi tidak dengan cintanya.

Kenyataan tidak jarang berakhir menyakitkan. Tidak ada yang bisa dirubah, sekeras apapun Nayaka meminta, sesering apapun ia menangis. Yang pergi tetap pergi. Begitulah kisahnya.

••••>•<••••

Satu tahun sebelum berpulangnya Sakya.

2018.

"Mau langsung pulang apa kemana dulu?" Tanya Sakya.

"Pulang aja, udah mendung."

Mendengar jawaban dari Nayaka, keduanya bergegas untuk pulang. Sakya dengan telaten memasangkan helm hitam bertuliskan honda. Seringkali ia mengajak kekasihnya untuk membeli helm baru.

"Beli yang baru ya, kegedean tau ini"

"Sakya, sayangku. Udah berapa kali sih aku bilang. Mau merk apapun, mau yang baru sekalipun, fungsi helm tetep sama. Buat melindungi kepala. Selagi helm nya masih layak pakai kenapa harus buru-buru ganti?".

Sama seperti hari-hari sebelumnya. Sakya pasrah pada ajakannya. Dua remaja yang dimabuk cinta, tengah tersenyum dibawah suramnya langit. Menggantikan senja yang tak tampak hari ini. Sapuan lembut telapak tangan Sakya hadir dipipi kekasihnya. "Cantik" Begitulah katanya.

Heel | Mark Lee ✔Where stories live. Discover now