Maju atau Mundur

95 27 1
                                    

Takdirnya begitu, harus begitu. Alurnya begini juga harus begini. Ternyata, kita tidak mampu mengubah apapun.
.
.
.
.
••••>•<••••

Laun-laun keyakinan kokohnya porak poranda, tidak lagi memaksa lebih memilih takdir yang nyatanya ada. Diterima, karena memang seharusnya seperti itu. Jauh didalam hati memang menentang, tapi tetap tidak bisa apa-apa.

Dua bulan berlalu begitu cepat, semuanya tidak lagi sama. Rasanya ada dan tetap seperti itu, tapi jalannya berbeda. Kali ini, belajar melepas adalah prioritas utama.

Dua bulan berlalu juga tidak menghasilkan apa-apa, getir-getir nya masih terasa, hanya saja kali ini dibiarkan lapang dada. Sudah cukup menutup matanya, sudah cukup sembunyi nya. Sekarang tugasnya adalah menatap dunia.

Sakya nya, Nayaka nya. Menjadi masing-masing yang tidak dibiarkan bersama. Keduanya merasa berat tapi mencoba suka rela.

Patang datang dengan jelaga diberbagai sisi, suara adzan maghrib mengisi kekosongan hati. Sedikit terenyuh Sakya menaruh harapan juga, kali ini suara Adzan benar-benar membuatnya bergetar. Gelisah datang tapi tidak tahu apa alasannya.

Suaranya tercekat juga air matanya jatuh. Kalimat 'Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah' merasuk dalam relung hatinya, ia mengadah, mencoba bertanya ada apa? Tapi tidak ada jawaban.

Tangisnya pecah tanpa diminta, sesak sekali rasanya. Jantungnya berdegup kencang tapi merasa sedang ditenangkan. Ia kembali menunduk dan menangis sejadi-jadinya. Melepas sesak itu dengan leluasa.

Langkah kaki terburu-buru didengarnya, dari luar pintu kamar Bunda dan Ayah menghampiri. Bertanya dengan khawatir perihal apa yang membuatnya menangis.

"Sakya? Kenapa sayang, ada apa?"

Pertanyaan yang sama terus diulang orang tuanya. Sakya masih kelu untuk sekedar menjawab, ia hanya menggeleng memberi sinyal bahwa ia tidak apa-apa.

Tangan Bunda terulur, memeluk putranya juga mengusap punggungnya. Ayah dengan sabar menunggu, menyaksikan kedua orang tersayangnya menangis haru entah apa penyebabnya, ah tidak kalau Bunda jelas karena khawatir dengan putranya.

"Coba pelan-pelan, kamu kenapa sayang?"

Bunda kembali bertanya saat Sakya mulai tenang.

Sherina datang dengan tampang sama khawatirnya. Menatap keluarganya yang tengah menenangkan sang kakak. Hendak bertanya tapi urung saat Sakya bicara.

"Rasanya sesak Bun, sesak sekali"

"Apanya sayang, apanya yang sesak? Ayok kita periksa sekarang"

Sakya menggeleng mendengar perkataan Bunda nya. Menelan paksa rasa sesak nya dan kembali bicara. "Sakya nggak pa-pa Bun"

Petang itu mereka habiskan dikamar Sakya. Menemani sang empu karena takut terjadi sesuatu. Sudah ratusan kali Sakya bilang dirinya tidak apa-apa, tapi namanya naluri orang tua siapa yang berani membantah?.

Petang itu, suasananya tidak sama. Sesak nya Sakya entah kenapa ikut dirasa oleh seluruh orang yang ada disana. Ayah, Bunda juga Sherina sama sesak nya.

Hari semakin malam, malam berhujan yang menambah kesan gelisah. Setiap tetes nya terasa membawa makna, rintiknya juga terdengar sendu-𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘪𝘯𝘪.

Heel | Mark Lee ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang