Part 4 " Twinge"

168 19 0
                                    

"Rega ini uda mau jam makan siang ngapai tuh wajah butek kayak air comberan upsss, maaf bos gak bermaksud".

Dengan kerlingan jahil tomi dan melihat sebuah tuperwar di atas meja Rega. Dia tahu itu dari siapa. Pasti dari Laila.

"Ga tuh tuperware kenapa lu anggurin aja. Kan sayang mubajir kalau lu gak mau makan lagi. Gua makan yaak? ".

Dengan satu anggukan rega, Tomi langsung memakannya tanpa menawarin rega. Karena tomi tahu, rega sih diam bodoh sudah dikasih istri pintar masak, cantik, kaya dan sesempurna itu. Masih mikirin cewek yang jelas-jelas nolak diajak nikah dan kagak tahu apa-apa. Taunya bersolek sama modal ngomong aja.

"Ya Allah nikmat mana lagi yang dapat kau dustakan, ini benar-benar ngalahin restoran bintang 5. Gua mau setiap hari disajiin beginian ga. Nah Lu selalu nolak. Kadang gua gak habis pikir sama Lu, sekali-kali hargai kerja keras orang lain Ga. Gua gak mau Lu dapat tulahnya".

"kata enyak gua Ga, bersyukur apa yang ada di hadapan lu tong. Karena Allah tuh gak akan pernah kasih kita kabar berita kapan rasa syukur itu diambil dan saat itu lah kehilangan yang paling menyakitkan gak akan bisa di ulang lagi".

"Perasaan manusia ada ambang batasnya Ga, dia bukan istri nabi. Jangan terlalu jahat sama istri yang begitu sabar nangani lu. Terserah lu bosan dengar gua khotbah soal ini setiap saat. Gua cuma mau lu di jalan yang benar".

"Gua tau maksud lu. Laila perempuan yang baik bahkan terlalu baik buat manusia macam gua. Tapi rutinitas dia membosankan, dan bukan pernikahan seperti ini yang gua inginkan. Ya lu tahu yang gua nikahin juga bukan pilihan gua". Kataku tidak ingin selalu disalahkan oleh tomi, sahabat sekaligus tahu permasalahan dalam pernikahan ku salama ini.

"Terserah lu Ga, gua capek nasihatin orang tua kagak tahu tuanya dimana. Lebih baik gua makan dari pada makan cinta yang gak jelas".

Kini kedua manusia di dalam ruangan itu asyik berbicara tanpa berpikir ada perasaan yang harus dijaga, namun tidak ada yang tahu seseorang yang dibicarakan ada di balik pintu mendengar semua pembicara yang begitu membuat matanya mengembun sempurna.

Laila segera pergi dari tempat yang penuh sesak itu. Dia beranjak dari kantor rega, namun sebelumnya langsung meminta pada sekretarisnya untuk tidak memberi tahu kalau dia datang. Sebagai ucapan terima kasih, dia memberi cake yang tadi nya ia ingin beri ke rega kini berahli ketangan orang lain.

"terimakasih buk Laila, saya yakin semua masakan yang ditangani buk laila pasti enak. Buktinya kemarin masakan cumi asam pedasnya enak banget buk. Terima kasih ya buk".

"Hah... Ohhh yaa sama-sama. Terima kasih sudah menyukai masakan saya. Saya permisi dulu, tolong jangan beri tahu pak rega saya kemari".

"baik bu. Hati-hati dijalan buk".

Dia mengayungkan langkahnya sedikit gontai, sambil memegangi dadanya yang kian sesak. Bahkan untuk bernapas saja begitu sulit.

"sebosan itukah Mas Raga sama ila. Dan tidak adakah sedikit saja rasa cinta mas raga untuk ila. Sakit banget mas hiks hiks".

Laila keluar dari pintu darurat kantor menuju taman belakang. Dia melihat langit begitu sendu seperti hatinya saat ini. Tanpa menunggu lama, saat dia terduduk dikursi taman dan saat itu lah rintik hujan turun bersamaan derai air mata Laila yang tak hentinya berderai. Setidaknya orang berpikir ini air hujan dan suaranya teredam dengar derasnya suara air.

"Mas selalu pulang bawa kotak bekal yang kosong, dan selalu berucap terima kasih. Namun semua yang manis dihadapan ila sudah Mas bohongi. Selama ini mas pura-pura. Seperti ini sakitnya mencintai seorang diri dan berjuang sendiri ya robb hiks hiks".

L A I L A ( On Going )Where stories live. Discover now