Bab 11 " Struggle "

152 17 1
                                    

Setiap langkah yang Laila jalannih selama ini tidak hanya untuk  kata cinta,  tapi sebuah kebanggaan dapat menikah dengan lelaki yang ia pilih langsung melalui setiap doanya.  Namun setiap doa yang terkabul belum tentu akan sesuai jalan cerita yang ia inginkan. Ia tahu seorang hamba hanya bisa berencana yang menentukan akhir  cerita sang penciptanya. 

Sungguh lelah bukan langkah kaki nya,  namun jantungnya begitu lelah untuk berdetak.  Bahkan begitu sakit,  kini langkah itu perlahan terhenti.  Ia terduduk di ujung trotoar jalan menuju kompleks perumahannya.

"Astagfirullah...  Sakit sekali.  Berikan aku kekuatan ya Allah". Batin laila merintih

sedangkan dari kejauhan Regara jalan begitu cepat menyusul langkah sang istri.  Sampai ia melihat wanitanya duduk dengan wajah pucat pasih.

"Naiklah kepunggung saya,  kamu kelihatan lelah dan pucat.  Cepat! ".

Karena Laila tidak ingin berdebat dan tenaganya sudah semakin habis. Ia langsung  naik diatas punggung Mas Gara nya. Rasanya ia ingin seperti  ini terus,  dalam setiap langkah menuju rumahnya.  Dari ujung jalan lainnya,  Raline dan Rey melihat kejadian itu semua.

Kini pasangan suami istri  ini berjalan tanpa merasa risih,  bahkan sakit yang laila rasakan berganti senyum yang begitu meneduhkan.  Sedangkan Gara ia merasa nyaman akan setiap sentuhan bersama  wanita yang saat ini berada di balik punggungnya.

pasangan yang manis pikir laila, lihat setelah sampai dirumah ia langsung disuruh bersih-bersih. Tidak boleh kedapur dan langsung istirahat.  Setelah makan siang keduanya langsung menuju kamar untuk istirahat.  Sedangkan  regara siap-siap untuk menghadiri acara reuni bersama beebrapa sahabatnya di cafe safa.  Tanpa sepengetahuan rega, laila sudah tahu kalau hari ini acara yang dihadiri suaminya merupakan  tempat laila sering bersantai ria.

Laila terbangun dari tidurnya,  dan bergegas untuk bersiap-siap.  Karena sesuai janjinya,  ia hari ini akan mengantar cake kesukaan kak safa.  Karena jalanan jakarta macet,  apa lagi di waktu weekend begini,  mau gak mau setelah magrib laila baru sampai di cafe kak safa.  Melalui pintu belakang laila masuk langsung  menuju kantor kak safa.

Dibalik kaca ruang kerja kak safa,  laila dapat melihat semua interaksi yang ada di dalam cafe.  Terutama  lelaki yang begitu  ia cintai kini memandang sosok wanita yang ada di hidupnya,  walau di masa lalunya.  Namun dari pandangan keduanya laila tahu.  Masih ada rasa dikeduanya.

Seharusnya laila pergi dari tempat  ini sekarang  juga,  namun langkah kakinya masih berat.  Ia dihentikan  untuk melihat drama selanjutnya. Menyakitkan namun sebuah kenyataan  harus ia ikhlaskan. Sampai suatu hal yang tidak pernah Mas Gara lakukan padanya ia lakukan pada orang lain.  Ia membawa sebuah gitar dan menyanyikan sebuah lagu rindu.  Laila tidak tahu diarahkan kepada siapa lagu tersebut,  namun saat mata laila memandang Raline.

  "Mata itu masih menyimpan kerinduan". Batin Laila dalam hati tanpa sengaja air matanya pun ikut terjatuh membasuhi wajahnya.  Laila tidak perlu kerluar untuk mendengar suara Mas Garanya.  Ia hanya perlu menekan tombol peredam suara yang otomatis suara dari luar juga akan terdengar olehnya. 

"Bahkan saat aku meminta Mas Gara menyayikan lagu kesukaan masa kecil kita,  mas selalu mengelak dan beralasan lelah.  Tapi jika wanita itu raline, mas langsung mengabulkan semuanya. Apa aku hanya pajangan saja untuk mu mas". Batin laila di temani isak tangis.

Rasanya ia ingin mengahmpiri suaminya,  namun apa lah daya pajangan sepertinya hanya bisa berada ditempat saja.  Tidak bisa bergerak tanpa persetujuan sang pemilik.  Sampai ia memutuskan keluar ruangan, ia sudah tidak sanggup untuk berlama-lama berada di tempat ini.  Tidak hanya batin yang tersiksa namun raganya begitu letih.

L A I L A ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang