Chap 5. Gosip murahan

112 17 0
                                    

"Sebelum lo menyimpulkan sesuatu, lo harus tau sesuatu yang lo simpulkan itu benar adanya. Bukan benar katanya."


"Buruan turun, udah nyampe."

Rain turun dari motor milik Devan, dan melepaskan helmnya.

"Tumben banget lo minta gue antarin, biasanya juga gak mau."

"Lo cuma seminggu disini, minggu depan lo balik lagi ke Jogja. Salah emang gue minta sepupu gue antarin gue kesekolah?"

Devan tersenyum gemas sambil mengusap lembut kepala Rain. "Enggak salah, gue cuma heran."

"Gak usah sok manis lo," ucap Rain dan segera menepis pelan tangan Devan.

"Ya udah, gue langsung balik, nih. Entar siang gue jemput."

"Okey."

Devan tersenyum sebentar ke Raina lalu menjalankan motornya keluar dari parkiran sekolah.

Melihat motor Devan yang sudah semakin jauh, Rain berjalan santai masuk kesekolah. Untungnya hari ini tak ada tugas rumah, jadi dia bisa santai.

***

Pelajaran sejarah akhirnya selesai juga. Perut Rain sudah mendemo dari tadi, kakinya sudah tidak sabar untuk menuju ke kantin.

"Bulan, ayok ke kantin! Gue udah lapar banget, nih."

Tak ada balasan, Rain berpaling menatap Bulan yang masih sibuk bermain ponsel.

"Bulan!"

"Apa, sih, Rain? Lo gak lihat gue lagi balas pesan."

"Nanti dulu, perut gue udah demo, nih."

"Iya, iya."

Bulan menatap kesal kearah Rain dan memasukkan ponselnya ke saku. Mengikuti langkah Rain yang terburu ke kantin.

Di koridor sekolah murid-murid sibuk berbisik saat melihat Rain. Tapi Rain tidak begitu memperdulikannya. Baginya memanjakan cacing-cacingnya lebih penting.

"Mbok, Mie ayam satu. Sama jus stroberinya satu. Kayak biasa."

Mbok Lia mengangguk paham, lalu Rain menarik tangan Bulan untuk duduk dimeja kantin.

"Lo gak mau pesan apa-apa, Lan?"

Bulan menggeleng pelan, lalu kembali bermain ponsel miliknya. Rain mengerutkan kening menatap Bulan bingung. Aneh dengan sikapnya hari ini yang begitu dingin. Tak biasanya dia seperti ini.

"Lo kenapa, Lan? Kok dari pagi lo diam terus. Dan jawaban lo dingin banget. Gak biasanya lo kayak gini."

"Gak kenapa-kenapa."

"Lo kalau ada masalah cerita ke gue, jangan diam. Kalau lo diam gue mana tau lo ada masalah apa enggak."

"Gue lagi malas cerita, malas ngomong, malas ngapa-ngapain. Gue pengen sendiri."

"Bikin gue makin kepo tau gak, lo kenapa, dah?"

"Gak kenapa-kenapa, Rain. Gue lagi gak mood aja, ada sedikit masalah keluarga semalam. Gue malas bahas itu untuk sekarang."

"Gue balik ke kelas aja, ya. Kepala gue tiba-tiba puyeng," sambung Bulan lalu bergegas bangkit dari duduknya.

"Ya, udah. Selesai gue makan mie ayam ntar gue nyusul. Gue bawa roti sama air anget ntar."

Bulan mengangguk pelan lalu berjalan keluar dari kantin.

Saat lagi makan, beberapa murid cewek menghampiri meja Rain. Mereka menatap Rain tidak suka.

"Masih berani lo nunjukin muka ke kantin?"

"Kalau gue jadi lo gak berani keluar kelas, atau bahkan libur beberapa hari."

"Gak tau malu banget, nih, cewek."

"Pantesan Galang minta putus. Semua diembat sama dia. Jadi, cewek jangan egois!"

Rain masih mengunyah mie yang ada di mulutnya sambil mendengarkan celoteh beberapa teman seangkatannya yang sedang mengata-ngatainya.

"Udah selesai ngomongnya? Maksud lo apaan ngatain gue kayak gitu?!"

Rain menggebrak mejanya kuat, sampai jus stroberinya tumpah. Lawannya seketika terlonjak kaget. Mereka tak menyangka Rain bisa segalak itu.

"Kita gak ngomong asal, gosip lo udah tersebar disekolah."

"Gosip, gosip apa yang lo maksud?!"

Salah seorang murid cewek memberikan ponselnya, memperlihatkan wajahnya bersama Devan tadi pagi. Gambarnya tepat diambil saat Devan mengelus rambut Rain.

"Lo motoin gue pagi tadi?"

Cewek itu menggeleng cepat. Lalu menyuruh teman yang lainnya menjelaskan.

"Gosip itu bilang lo putus dari Galang karena lo selingkuh. Buktinya lo dekat sama Rey, wakil OSIS. Terus pagi ini lo diantar sama cowok lain, dan kelihatan kalian kayak pacaran."

"Gosip murahan! Dan lo pada dengan mudahnya langsung percaya? Lo pada taunya cuma mencari aib orang buat bahan gosip lo doang, apa gak ada kerjaan lain? Harus banget masalah orang jadi masalah lo sekeluarga?!"

"Kita-kita lihat langsung lo dekat dengan Rey waktu dilapangan. Terus pagi ini lo juga diantar sama cowok lain, berarti kan emang benar?"

Rain tersenyum miring menatap mereka yang berusaha menjatuhkannya. Suasana kantin kini menjadi riuh, sebagian membela mereka, dan sedikitnya membela Rain.

Dia tidak perduli, baginya dirinya tidak salah. Jadi kenapa harus takut?

"Sebelum lo menyimpulkan sesuatu, lo harus tau sesuatu yang lo simpulkan itu benar adanya. Bukan benar katanya."

"Maksudnya?"

"Bego! Gue gak tau disini gue yang bego atau kalian. Kayaknya gue gak pernah cari masalah sama lo pada, kenapa tiba-tiba lo cari masalah sama gue? Sampe berani nge-fitnah gue dengan gosip murahan yang lo buat-buat."

"Pertama, gue sama Rey itu udah temanan lama, bahkan dari SMP. Kedua, cowok yang ngantar gue pagi ini itu sepupu gue yang baru aja balik dari Jogja. Dan ketiga, tentang gue putus sama Galang gak ada urusannya sama kalian!" sambung Rain lalu pergi meninggalkan kerumunan yang masih bengong dengan penjelasan Rain. Sebagian orang mencibir balik geng yang membuat gosip murahan tentang Rain.

Rain berjalan kesal di koridor sekolah, matanya mulai perih menahan tangis. Entah apa salahnya hingga sebagian murid memfitnahnya. Dirinya sendiri tak suka mencari masalah, lalu kenapa ada saja orang tidak suka dengannya.

Tepat saat Rain belok ke kanan tubuhnya bertabrakan dengan punggung cowok bertubuh lebih tinggi dari dirinya.

Hari ini sungguh kesialan bagi Rain, ada saja orang-orang yang ingin membuatnya kesal.

"Lo kalau jalan pake mata!" ucap Rain kesal, matanya masih sibuk membersihkan seragamnya yang sedikit kotor.

Cowok berdasi rapi itu mengulurkan tangannya untuk membantu Rain berdiri.

"Maaf."

Suara itu? Suara yang sempat Rain rindukan. Tapi sekaligus menyakitkan untuk dikenang.

Saat Rain menoleh penasaran. "Galang?"

Rintik Hujan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang