Chap 7. Lulus

94 17 0
                                    

"Terinspirasi dari secangkir kopi, bahwa dia tidak pernah dusta atas nama rasa."

Rain terus mengaduk minuman yang sebenarnya tak perlu diaduk. Bahkan rasanya kini mungkin sudah menjadi dingin. Raganya kini bersama Rey, tapi jiwanya pergi entah kemana.

"Rain," panggil Rey pelan.

Rain masih termenung, pandangannya tetap fokus pada setumpuk donat rasa coklat.

Rey mengacak rambut frustasi. Sudah hampir dua jam mereka duduk di kafe, bahkan Rey sudah tiga kali memesan kopi. Tapi Rain sedari tadi hanya diam tanpa bersuara. Pandangannya sulit diartikan.

"Rain, ayolah! Minimal lo ngomong ke gue, jangan diam-diam gini. Yang ada gue ikut sedih."

"Gue tau gimana perasaan lo sekarang. Sakit, gue tau itu. Tapi, makin lo pikirin makin gak ada habisnya. Malah membuat lo makin sedih nanti."

"Udahlah, biarin aja mereka bahagia sama hubungan mereka. Lo punya gue yang selalu ada buat lo, gue gak bakal ngecewain lo kayak mereka."

Rain tersenyum miring. Baginya cinta dan sahabat sama-sama mengecewakan. Sama-sama pembohong perasaan. Yang awalnya manis jadi pahit, dan yang awalnya senang-senang malah nangis-nangis. Miris.

"Bertahun-tahun berteman, bahkan gue udah anggap kalian kayak saudara sendiri. Susah, senang kita lalui bareng-bareng. Fakultas impian yang kita cita-citakan sejak dulu sudah didepan mata, tapi kenapa harus berhenti disini? Padahal tinggal beberapa langkah lagi."

"Kecewa, marah, sedih. Itu yang gue rasain jadi satu saat ini. Mungkin kalau Bulan adalah orang lain gue gak bakal se-kecewa ini. Tapi, Bulan adalah sahabat gue. Seorang sahabat yang udah gue anggap kayak saudara sendiri, sekaligus penasehat yang baik. Juga seorang yang merebut pacar temannya sendiri," sambung Rain sambil meneguk kopi yang sudah dingin itu sampai tinggal setengah cangkir.

Rain segera bangkit dan mengambil tasnya, lalu berpaling menatap Rey. "Makasih udah selalu ada disaat gue butuh sosok bersandar dikala sedih. Lo udah jadi tempat gue berteduh dikala hujan. Gue sayang lo sebagai teman. Gue gak mau ngasih harapan apa-apa sama lo karena gue sayang sama lo, Rey. Jujur, gue belum bisa sepenuhnya ngelupain Galang. Dan untuk saat ini gue mau lebih fokus untuk ngebahagian diri gue sendiri. See you again, gue duluan."

"Lo mau kemana?" sergah Rey cepat, dia bingung dengan perkataan Rain yang mengucapkan sampai bertemu lagi.

"Ada benarnya omongan Kak Sekar. Gue sampe debat seharian cuma bahas tentang kuliah gue."

"Maksudnya?"

"Beberapa minggu lagi ujian kelulusan, 'kan? Setelah itu selesai. Kakak gue mau balik ke New York buat nyeselain S2 nya. Dan dia ngajak gue buat kuliah disana."

"Bukannya lo mau kuliah disini? Kita kan udah bahas ini dari dulu, masa' iya lo ninggalin kita gitu aja."

Rain membuang nafas berat lalu berjalan mendekati meja Rey. "Gue minta maaf, kayaknya gue gak bakal kuliah disini. Lagi pula semuanya udah berubah, gak kayak dulu lagi. Dan lo tau itu. Gue yakin lo bakal lolos disini, Rey. Gue cuma gak mau terus-menerus kecewa dan sedih dengan semuanya. Gue balik duluan, lo buruan pulang udah mau hujan."

Rain tersenyum tipis lalu berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Rey sendiri disana.

***

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.

Hari kelulusan, semua bersorak gembira. Sebagian orang tua datang lebih awal untuk melihat pementasan anak-anaknya yang akan tampil.

Rain terlihat anggun dan cantik dengan drest bewarna biru langit, polesan make-up yang tipis membuatnya segar dipandang. Senyumannya merekah lebar, sambil berfoto bersama beberapa teman sekelasnya yang tampil menawan sepertinya.

"Gak kerasa, ya. Rasanya baru aja masuk sekolah kemaren, eh hari ini udah lulus aja."

"Benar banget, gue bakal rindu masa-masa sekolah sama kalian."

"Apalagi pas dihukum rame-rame gara-gara kompak gak ngerjain tugas. Haha."

"Gimana gak dikerjakan, abisnya Pak Bambang ngasih tugas banyak banget. Masa' disuruh hapal satu bab dalam dua jam. Ya, ora iso."

Mereka tertawa bersama dan sesekali mengingat kejadian lucu saat-saat sekolah.

"Rain, Kakak lo manggil suruh kedepan katanya."

Rain mengerutkan kening menatap Lea teman sekelasnya yang baru saja balik dari luar. "Kakak gue?"

Lea mengangguk cepat.

"Kenapa gak suruh masuk aja."

"Udah gue suruh masuk, tapi Kakak lo gak mau. Dia nyuruh gue buat ngasih tau lo doang. Ya, udah gue balik sama yang lainnya," ucap Lea lalu berlalu pergi menghampiri yang lainnya.

"Makasih," ucap Rain sedikit teriak. Lalu bergegas pergi keluar sekolah.

Terlihat Sekar tengah bolak balik melihat jam sambil menelfon. Segera Rain menghampiri Kakaknya.

"Okey, Pak. Saya akan segera kesana," ucap Sekar ditelpon lalu mengakhiri percakapannya dan menatap Rain serius.

"Ada apa, Kak? Kenapa gak masuk aja, pementasannya lagi berlangsung, setengah jam lagi paling udah selesai," ucap Rain santai.

"Gue gak punya banyak waktu, kita harus bergegas. Dan lo harus beres-beres."

"Bergegas buat kemana?"

"Ke New York."

"Hari ini?"

Sekar mengangguk.

"Kenapa tiba-tiba? Bukannya Kakak bilang lima hari lagi, ya?"

"Harus hari ini, penerbangan dimajukan jadi hari ini. Gue juga baru dikabari tadi pagi, makanya buru-buru buat kesini."

"Tapi kita belum nyiapin apa pun, lagi pula ini kan hari kelulusan gue, Kak."

"Gue udah urus semuanya, dari paspor, tiket, sama sekolah lo. Gue juga udah selesai semuanya. Lo tinggal beres-beres, ganti baju, dan kita langsung ke bandara."

"Tapi, gue..."

"Lo mau ikut gue atau gak, Rain? Ini kesempatan lo buat wujudkan keinginan lo menjadi kebanggaan buat Papa sama Mama. Sekaligus menjadi cita-cita lo dari kecil, 'kan? Jangan sia-siakan kesempatan ini, Rain. Entar lo nyesal."

Rain mengangguk pelan, membuka pintu mobil depan dan masuk kedalam. Kak Sekar tersenyum tipis, lalu segera masuk ke mobil dan melajukan mobilnya kejalan raya.

Rintik Hujan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang