Chapter 25

2.8K 340 53
                                    

Kawasan sudirman tampak sibuk, aku menyeka keningku yang basah karena keringat. Satu lagi hari yang sibuk. Rapat bulanan semakin dekat, banyak yang harus dikerjakan. Sebagai karyawan baru tentu saja tugasku tidak sebanyak Rani ataupun Keenan dan karyawan lainnya. Rani sudah hampir gila karna pekerjaan kontraktor pada proyeknya tidak sesuai time schedule. Beberapa hari ini aku sibuk menemani Project Managerku mengunjungi site dan menulis laporan mingguan. Melelahkan tapi menyenangkan karena pikiranku mendadak teralihkan dari hal-hal yang menggangguku beberapa hari sebelumnya. Lampu berubah hijau pagi pejalan kaki, aku segera menyebrang sambil menenteng starbucks milikku dan titipan Rani. 

Setelah ini, aku harus mengunjungi site milik... ah, aku bahkan enggan menyebut nama seseorang yang bersarang dalam pikiranku akhir-akhir ini. Aku aman dan tidak akan bertemu dengannya karena dia sangat sibuk dan jarang sekali mengunjungi bangunan klinik miliknya. Ngomong-ngomong soal dia, aku tidak pernah berpapasan lagi dengannya. Kejadian itu adalah pertemuanku yang terakhir dengannya, setelah itu aku tidak melihatnya lagi. Semua pesan-pesannya tidak pernah aku balas, begitu pula telfon miliknya.

Aku masuk ke dalam gedung kantorku setelah menyapa Pak Adi, satpam kantorku. Rani terlihat sedang memainkan ponselnya sambil menenteng tasku. Aku segera menghampirinya. 

"Nih," ujarku sambil menyodorkan satu cup starbucks pesanannya. 

Senyumnya melebar, "Thank you sooooo much. Nih, tas lo," katanya sambil memberikan tas milikku. 

"Thanks, gue langsung cabut ya." 

"Keenan juga katanya mau keluar, lu gak sekalian sama dia? Bukannya kalian satu project?" tanya Rani. 

Aku menggeleng, "Skip dulu. Gue sendiri aja." 

"Umm..." Rani tergugu, "Sorry, i have to do this." Matanya menatap tepat ke belakangku. Something's wrong. 

Apa maksudnya? Aku mengerutkan keningku bingung. Selanjutnya aku merasakan tepukan pelan pada bahuku yang membuatku menoleh. Mataku membulat. Aku mendapati Keenan berdiri menjulang di belakangku, dadaku berdegup kencang. Berbicara dengan Keenan belum ada dalam to-do-list ku. Aku berbalik memeloti Rani yang tampak innocent dan polos. Mengesalkan sekali. 

"Hey," kata Keenan. 

Aku tersenyum kaku, "Hai." 

Tidak pernah rasanya aku sekaku ini dengan Keenan. Aneh sekali, padahal biasanya aku sudah lengket sekali dengan Keenan. Aku mengamati wajahnya yang belum pernah kuliht beberapa hari ini, wajahnya tampak lelah. Bahkan aku bisa melihat rambutnya yang sudah sedikit memanjang, guratan wajahnya yang lelah dan kantong matanya yang menghitam. Ternyata bukan hanya aku yang kacau. 

"Kunjungan site, kan? Bareng gue aja, yuk," tawar Keenan. 

Sejujurnya aku tidak yakin bisa mengatasi suasana yang canggung dengan Keenan karena sampai sekarang aku belum berani bicara dengannya. Rani mencolek punggungku dari belakang. Tidak henti-hentinya Rani memintaku untuk segera mengakhiri suasana canggung dengan Keenan karena katanya dia bingung bagaimana harus menghadapi kami berdua. 

"Eh, sebenernya gue bisa sendiri kok. Gue bawa mobil." 

"Loh, bukannya mobil lu di bengkel?" sahut Rani dengan polos. 

Holy crap. Rani sialan. Dia gak salah sih, mobilku memang sedang rewel dan masuk bengkel sejak kemarin. Aku sudah punya plan untuk naik transportasi umum seperti kemarin dan tadi pagi. 

"Oh iya, gue lupa," kataku. "Eh tapi ada transportasi umum, sih. MRT, Bus, Ojek online, Taxi, dan lainnya. Iya gak sih?" 

"Sayang duitnya. Kelamaan deh lu. Bawa aja ni anaknya," kata Rani gemas sambil mendorongku ke arah Keenan. 

Neighbour From HellWhere stories live. Discover now